All The Light We Cannot See |
Details:
Author : Anthony Doerr
Pages: 544
Language : English
From the highly acclaimed, multiple award-winning Anthony Doerr, the beautiful, stunningly ambitious instant New York Times
bestseller about a blind French girl and a German boy whose paths
collide in occupied France as both try to survive the devastation of
World War II.
Marie-Laure lives with her father in Paris near the Museum of Natural History, where he works as the master of its thousands of locks. When she is six, Marie-Laure goes blind and her father builds a perfect miniature of their neighborhood so she can memorize it by touch and navigate her way home. When she is twelve, the Nazis occupy Paris and father and daughter flee to the walled citadel of Saint-Malo, where Marie-Laure’s reclusive great-uncle lives in a tall house by the sea. With them they carry what might be the museum’s most valuable and dangerous jewel.
In a mining town in Germany, the orphan Werner grows up with his younger sister, enchanted by a crude radio they find. Werner becomes an expert at building and fixing these crucial new instruments, a talent that wins him a place at a brutal academy for Hitler Youth, then a special assignment to track the resistance. More and more aware of the human cost of his intelligence, Werner travels through the heart of the war and, finally, into Saint-Malo, where his story and Marie-Laure’s converge.
Doerr’s “stunning sense of physical detail and gorgeous metaphors” (San Francisco Chronicle) are dazzling. Deftly interweaving the lives of Marie-Laure and Werner, he illuminates the ways, against all odds, people try to be good to one another. Ten years in the writing, a National Book Award finalist, All the Light We Cannot See is a magnificent, deeply moving novel from a writer “whose sentences never fail to thrill” (Los Angeles Times).
Marie-Laure lives with her father in Paris near the Museum of Natural History, where he works as the master of its thousands of locks. When she is six, Marie-Laure goes blind and her father builds a perfect miniature of their neighborhood so she can memorize it by touch and navigate her way home. When she is twelve, the Nazis occupy Paris and father and daughter flee to the walled citadel of Saint-Malo, where Marie-Laure’s reclusive great-uncle lives in a tall house by the sea. With them they carry what might be the museum’s most valuable and dangerous jewel.
In a mining town in Germany, the orphan Werner grows up with his younger sister, enchanted by a crude radio they find. Werner becomes an expert at building and fixing these crucial new instruments, a talent that wins him a place at a brutal academy for Hitler Youth, then a special assignment to track the resistance. More and more aware of the human cost of his intelligence, Werner travels through the heart of the war and, finally, into Saint-Malo, where his story and Marie-Laure’s converge.
Doerr’s “stunning sense of physical detail and gorgeous metaphors” (San Francisco Chronicle) are dazzling. Deftly interweaving the lives of Marie-Laure and Werner, he illuminates the ways, against all odds, people try to be good to one another. Ten years in the writing, a National Book Award finalist, All the Light We Cannot See is a magnificent, deeply moving novel from a writer “whose sentences never fail to thrill” (Los Angeles Times).
***
Have you ever heard Saint Malo?
Do you love France?
Did you most-absorbed when it comes to WWII story?
Do you like slow reading-pace?
If your answer are yes for the above questions, then All the Light We Cannot See is your book-mate (book that you can standardize as soul mate), plus it is Pulitzer-winner!
The Story
Cerita di buka dengan kisah gadis berusia 6 tahun, dan ia buta.
Ia hidup bersama dengan Ayahnya yang bekerja sebagai locksmith-(juru
kunci?) di Museum of Nature History, Paris. Di dalam museum tersebut, jauh di dalam ruangan tersembunyi, tersimpan sebuah batu yang sangat berharga-dan berbahaya.
Setiap hari, gadis kecil bernama Marie-Laure mengikuti Ayahnya pergi bekerja ke museum, dan menghabiskan sebagian besar waktunya di sana, mempelajari apapun. Di hari ulang tahunnya, Ayahnya selalu memberinya dua hadiah dan hadiah yang paling ia sukai adalah sebuah buku berhuruf braile-dimana dimasa itu masih sangat langka dan mahal.
Ayahnya, yang juga sangat berbakat dalam membuat miniatur, memutuskan menyusun replika lingkungan mereka tinggal untuk Marie Laurie belajar berjalan sendirian ketika keluar rumah.
Sementara di Jerman, di sebuah panti asuhan dengan seorang pengasuh yang fasih berbahasa prancis, hidup sepasang kakak beradik, Werner-pemuda kecil berambut putih dan adik perempuannya bernama Jutta. Mereka tinggal di kawasan pertambangan dan suatu hari, mereka menemukan sebuah radio rusak yang akhirnya dibawa ke panti asuhan.
Penasaran, Werner membuka radio tersebut dan mengutak-atiknya selama berhari-hari hingga akhirnya radio tersebut bisa berbunyi lagi. Sejak saat itu, setiap malam mereka mendengarkan siaran radio yang dipancarkan oleh suara seorang pria berbahasa prancis dan memutarkan komposisi-komposisi indah seperti Claire De Lune.
Hingga akhirnya perang datang dan memaksa kehidupan baik Marie-Laure dan Werner berubah. Bersama ayahnya, Marie-Laure melarikan diri dari Paris dan berujung pada wilayah Brittany, tepatnya Saint Malo, dimana kakek-pamannya tinggal di sebuah rumah besar 5 lantai di dekat laut.
Sementara Werner, keahliannya dalam memperbaiki radio membawanya kepada Nazi, ia dikirim pergi ke sekolah militer dan di usia 16 tahun, ia dikirim ke garis depan untuk mencari gelombang radio yang dimiliki musuh.
Kehidupan peperangan yang keras dan sulit telah mengubah semua orang. Bagaimana Marie-Laure harus menjadi kuat tanpa ayahnya, dalam keadaan buta dan perang, maupun Werner yang awalnya lugu dan penurut. Beberapa peristiwa yang tidak mudah, membuat Werner mulai meragukan keyakinannya. Semakin ia jauh dari kampung halamannya, semakin ia mengerti apa yang seorang idealis Jutta-yakini.
Dan akhirnya, mereka bertemu dalam keadaan antara hidup dan mati, serta bendera negara yang berbeda yang membuat semuanya menjadi realistis.
What I Love from this Book:
Dalam menulis buku ini, jelas Anthony Doerr tidak melakukan riset yang main-main. Timing yang tepat bahkan deskripsi yang sangat nyata terutama tentang Saint Malo, membuat saya seolah-olah sedang menonton film instead membaca buku.
Selain itu, Doerr juga memiliki bakat untuk memilih kata yang dijalin sedemikian rupa hingga membentuk kalimat indah tanpa kehilangan makna, seperti yang ini
"But minds are not to be trusted. Minds are always drifting toward ambiguity, toward questions, when what you really need is certainty. Purpose. Clarity. Do not trust your minds."
Kemudian karakter, baik Marie-Laure, Werner maupun Jutta memiliki karakteristik istimewa yang membuat mereka menjadi sebuah puzzle yang utuh. Marie-Laure yang polos namun pemberani, Werner yang meskipun nampak pemberani-namun jauh di lubuk hatinya adalah seseorang yang berjalan di atas garis lurus, sementara Jutta adalah idealis, cerdas, dan pemberontak.
Dan yang membuat saya mengakui bahwa buku ini berhak penuh atas Pulitzer adalah 1/4 terakhir buku ini seolah memiliki kehidupan sendiri. Klimaks yang singkat namun bisa dieksekusi dengan manis dan realistis. Dari awal saya bisa menebak keterkaitan antar tokoh, namun bagaimana Marie-Laure dan Werner bertemu adalah keajaiban seorang penulis. Momen saat Werner melihat Marie-Laure, saat itu pula saya jatuh cinta pada Werner. Tidak perlu sebuah kata romantis, sentuhan, pelukan atau ciuman yang membuat buku ini sangat romantis. Melainkan momen singkat-yang bisa membuat seorang wanita melumer seperti ingus.
What I dislike from this book:
Selama 300 halaman awal buku ini, sangat melelahkan. Kisah bagaimana Werner tumbuh terutama. Saya tidak keberatan diceritakan bagaimana karakter Werner dibentuk, namun saya keberatan jika aktivitasnya terlalu detail dan terkesan diulang-ulang di halaman berikutnya. Banyak bagian yang bisa dikurangi sesungguhnya, tanpa mengurangi makna! Dan beberapa bab terdiri dari kalimat-kalimat yang super singkat hingga terkadang terlihat tidak ada gunanya. Kurangnya percakapan juga membuat saya merasa karakter yang ada belum terlalu dieksplor.
Selebihnya, saya tidak punya komplain tentang buku ini. Standing ovation buat Anthony Doerr membuat cerita yang sangat indah dan layak untuk ke layar lebar!
Comments
Post a Comment