Skip to main content

Strange Weather in Tokyo by Hiromi Kawakami

Strange Weather in Tokyo

Tsukiko, thirty-eight, works in an office and lives alone. One night, she happens to meet one of her former high school teachers, "Sensei," in a local bar. Tsukiko had only ever called him "Sensei" ("Teacher"). He is thirty years her senior, retired, and presumably a widower. Their relationship develops from a perfunctory acknowledgment of each other as they eat and drink alone at the bar, to a hesitant intimacy which tilts awkwardly and poignantly into love.
As Tsukiko and Sensei grow to know and love one another, time's passing is marked by Kawakami's gentle hints at the changing seasons: from warm sake to chilled beer, from the buds on the trees to the blooming of the cherry blossoms. Strange Weather in Tokyo is a moving, funny, and immersive tale of modern Japan and old-fashioned romance.

 ****
Strange Weather in Tokyo
Author : Hiromi Kawakami
Translator : Allison Markin Powell
Published  on 2001
Publisher : Portobelo
Origin Language : Japanese
Genre : Romantics, Fiction, Contemporary


Imagine, for a country that manner and virtuous is life values, how can you are not intrigued reading that blurbs? Moreover, falling in love to a sensei, the respectable position in Japan society.

Well, let's take a side our judgemental opinion, because what we love about fiction is how we cross border values and create a poignant way to celebrate life. 

Protagonis kita kali ini bernama Tsukiko, wanita berusia pertengahan 30 tahun-an yang hidup sendiri di belantara kota Tokyo. Tsukiko adalah wanita dewasa dan mandiri, namun sama seperti sebagian besar wanita, ada bagian besar dalam dirinya yang sangat terikat dengan keluarganya, terutama sosok Ibu.

Tsukiko, secara tidak sengaja bertemu dengan mantan gurunya di sebuah bar. Mereka duduk bersampingan dan memesan makanan yang sama. Awalnya, Tsukiko tidak mengingat siapa lelaki separuh baya yang ada di sampingnya, namun bapak itu mengingat dia. Tsukiko adalah salah satu murid Japan Literature-yang kebetulan jarang mendengarkan sang bapak ketika mengajar.

Kebetulan tersebut terjadi beberapa kali. Rupanya Tsukiko dan 'sensei' memiliki jadwal yang sama untuk menghabiskan malam di sebuah bar. Tidak pernah berjanjian, tapi beberapa kali mereka bertemu. Selama pertemuan singkat tersebut, mereka membahas banyak hal. Terkadang cuaca, makanan atau japan literature-yang dulu tidak pernah didengarkan oleh Tsukiko.

Kadang, mereka bisa tidak bertemu selama beberapa bulan dan ketika bertemu kembali, mereka akan mengobrol apa yang terakhir kali mereka bicarakan. Seolah tidak pernah ada jarak waktu dalam pertemuan mereka.

Selama obrolan mereka, sebagian besar meng highlight perbedaan jaman antara keduanya. Sensei menilai Tsukiko, mewakili generasinya adalah 'ignorant woman' seperti contohnya bagaimana wanita seharusnya tidak melakukan hal-hal seperti menuangkan sake ke laki-laki atau nilai-nilai lain yang berbeda antara keduanya.

Sampai suatu ketika, pemilik bar secara acak mengajak mereka untuk melakukan perjalanan ke gunung untuk mencari jamur. Disitu, mereka mulai bertemu di luar bar.

Perlahan, Tsukiko terbiasa dengan keberadaan sensei dalam hidupnya. Terkadang, ia mencari sensei di bar walaupun tidak bertemu. Sensei juga mengundang Tsukiko ke rumahnya, menceritakan tentang keluarganya.

Pada dasarnya, Tsukiko tidak menyadari bahwa selama ini ia kesepian sampai sensei datang dalam hidupnya. Bahkan saat  Tsukiko bertemu dengan teman masa SMA-nya, Kojima dan berkencan, apa yang ada dalam pikiran Tsukiko adalah tentang sensei.

'I felt as if I had entered into a strange time, sitting there next to Kojima, in a bar I'd never been to before, swirling wine round in my glass and savouring smoked oysters. Every so often, the thought of Sensei would flit across my mind, but each time, just as suddenly, it would then disappear. It wasn't as though I had returned ti my school days, but neither did it feel as if i was actually in present- all i could say was that I had caught a fleeting moment at the counter of Bar Maeda.' -page 85. 

Namun sensei adalah laki-laki tua yang keras kepala dan Tsukiko adalah wanita yang merasa sudah dewasa dan mandiri. Well, bagaimana mereka mengatasi perbedaan bukan hanya usia, namun prinsip hidup, jaman dan stigma masyarakat adalah hal yang menarik. Meskipun tidak dibahas secara gamblang, namun beberapa kejadian seperti pemuda mabuk yang mencibir mereka, sifat tarik ulur sensei adalah cara subtle penulis untuk menggambarkan betapa tebal tembok yang harus dilalui mereka berdua.

Apa yang saya sangat suka dari novel contemporary Jepang adalah bagaimana mereka menggambarkan apa yang dihadapi oleh protagonis begitu relatable dengan pembaca. Semua masuk akal dan mudah terjadi pada siapapun. Seperti kisah dua manusia biasa yang sedang mabuk cinta dan bagaimana mereka mengatasinya dengan cara sederhana yang memang akan dilakukan oleh manusia biasa.

Karakter Tsukiko sendiri adalah seperti layaknya wanita lajang hidup di metropolitan. Ia bekerja keras dan untuk mengatasi kesepiannya ia menjatuhkan diri pada kebiasaan minum di bar favoritnya. Ia independent dan membuat ia 'keras kepala'.

Kejadian yang saya ingat adalah ketika Tsukiko mengalami migren di rumahnya dan tidak dapat melakukan apapun, atau meminta tolong siapapun. Just because of it. 

Ketidakdekatannya dengan Ibunya, bagaimana ia menghindari pertemuan dengan keluarganya karena meskipun ia bahagia melihat kakaknya bahagia, namun tetap mengingatkan akan kesendiriannya. 

Satu hal lain yang saya suka dari buku ini adalah sarkasme yang menggelitik di beberapa bagian. Ah, yes dear sometimes life is bitter, it is normal reactions to sarcasm-ing it. 

Yang kurang saya suka? Hmm... mungkin penjabaran yang super detail tentang makanan, apalagi macam-macam jamur. Sorry, i skipped that part.

So far, it was pleasant read! Salah satu buku yang bisa membuatmu 'ah i love japan contemporary read'!and most of all i lovvveee the title! What a strange weather in Tokyo!

Comments

Popular posts from this blog

The Setting Sun by Osamu Dazai

The Setting Sun  The Setting Sun Author : Osamu Dazai Published in 1947 Original Language : Japanese *** Set in the early postwar years, it probes the destructive effects of war and the transition from a feudal Japan to an industrial society. *** "Such Innocence really charms me, and I wndered if M other might not be one of the last of that kind of lady" Ketika saya secara tidak senga ja membaca No Longer Human   di rak buku Best Seller di sebuah pusat toko buku di Sh ibuya, saya tertar i k dengan judul dan Covernya yang abstra k. Setelah menye lesaikannya, dan mela kukan sedi kit riset, ternyata se tahun sebelum No Longer Human, Osamu Dazai menulis The Setting Sun -yang juga banyak mendapat pujian dan pengakuan secara Internasional. Masih membawa backgroun d sang penulis,Aristocrac y, Osamu Dazai membentuk karakter utama  yang surprisingly wanita berusia 30 tahunan bernama Kazuko. Kazuko tinggal bersama dengan Ibunya setelah mengalami pe

Inheritance, Seri Terakhir Tetralogi Inheritance cycles

Judul : Inheritance Penulis : Christopher Paolini Tahun : 2011 (Indonesia,2012) Publisher : Gramedia (Indonesia) Di bulan Juni 2012 ini, akhirnya Gramedia menerbitkan seri terakhir yang telah ditunggu selama lebih dari 3 tahun, Inheritance. Inheritance merupakan buku keempat dari tetralogi Inheritance Cycle yang ditulis oleh anak muda berbakat, Christoper Paolini. Tetralogi ini terdiri dari Eragon (2002), Eldest (2005), Brisingr (2008), dan Inheritance (2011,diterbitkan di Indonesia 2012). Jika kita sedikit lupa dengan cerita terakhir bagaimana ending di buku ketiga,Brisingr, pada bab pengantar akan disajikan ringkasan tiga buku yang dapat merefresh ingatan kita sampai dimana perjuangan Eragon dan Naga birunya, Saphira untun menumbangkan Galbatorix. Secara keseluruhan, Inheritance cycle mengisahkan tentang perjuangan remaja yatim piatu bernama Eragon yang ditakdirkan berperan sebagai penunggang naga betina terakhir, Saphira. Sebelum bertemu Saphira, seumur hidup Eragon h