Kokoro (Hardcover) |
Kokoro
Author : Natsune Soseki
Year : 1914
Bahasa : Jepang
Translator : Edwin Mc.Clelan
***
The subject of 'Kokoro,' which can be translated as 'the heart of things' or as 'feeling', is the delicate matter of the contrast between the meaning the various parties to a relationship to attach to it. In the course of his exploration, Soseki brilliantly describes different levels of friendship, family relationships, and the devices by which men attempt to escape from their fundamental loneliness. The novel sustains throughout its length something approaching poetry, and it is rich in understanding and insight.
***
Sebenarnya saya lupa mengapa memasukkan buku ini pada want-to-read list, sampai akhirnya saya memesan online di online second-hand book, dan mendapatkannya 1 bulan kemudian. Saya pun tidak kunjung membacanya sampai akhirnya dari tahun lalu maraton buku Jepang, dan tiba pada Kokoro. Setelah ini, saya akan break membaca buku dari Jepang (masih terdapat beberapa list dan menunggu di rak buku).
Hingga akhirnya saya ingat, Natsune Soseki adalah salah satu penulis favorit dari penulis favorit saya, Haruki Murakami. Jadi, ketika saya menemukan akar dari ciri khas Haruki di Kokoro ini, saya sama sekali tidak terkejut, bahkan senang!
Seperti yang disebutkan di dalam blurbs di atas, Kokoro adalah hati atau perasaan, sedangkan saya-kalau boleh menerjemahkannya adalah hati manusia-pusat dari segala kemanusiaan seorang manusia.
Kokoro dibagi menjadi 3 bagian, pertama adalah Sensi (guru/orang yang dihormati) and I, My parents and I, Sensei and His Testaments. Ketiganya berada dalam satu dimensi waktu, masa kini, dengan flashback di bagian ketiga.
Narasi diceritakan oleh seorang pria yang datang ke Tokyo untuk mengenyam pendidikan di Universitas. Dia adalah anak terakhir dari sepasang suami istri yang tinggal di desa, kedua kakaknya sudah keluar dari rumah dan menjalani kehidupan masing-masing.
Narator bertemu dengan Sensi untuk pertama kalinya ketika berlibur ke Kamakura. Ia melihat Sensei sedang berenang dengan laki-laki asing, dan dibuat penasaran. Setiap pagi, ia mencocokkan jadwal dengan Sensei sampai akhirnya mereka punya kesempatan untuk mengobrol dan memperkenalkan diri.
Perkenalan tersebut berlanjut hingga mereka kembali ke Tokyo. Narator yang polos dan berfikir positif, selalu berusaha mengajak Sensi untuk berdiskusi. Bahkan, Ia menyempatkan diri datang ke rumah Sensei, hanya untuk mengobrol. Ia membutuhkan sosok mentor, yang akan mengajarinya tentang kehidupan, manusia dan cinta.
Reluctant di awalnya, Sensei akhirnya menerima keberadaan Narator, meskipun moodnya selalu berubah-ubah.
Di bagian kedua, Narator dipanggil untuk kembali ke desanya karena ayahnya jatuh sakit. Di sana ia merasakan perubahan pada dirinya. Ia tidak merasa seharusnya berada di desa itu. Rumahnya, orang tuanya dan cara berfikir orang tuanya, nampak asing baginya. Ia merindukan sosok Sensei-yang ia anggap cerdas dan bijaksana.
Saat kembali ke Tokyo, Ia menceritakan pada Sensei tentang penyakit Ayahnya. Tidak terduga, untuk pertama kali Sensei yang tidak pernah antusias atau penasaran tentang kehidupan Narator, tiba-tiba menjadi sangat tertarik, bahkan menyarankan Narator untuk meminta Ayahnya menyusun surat wasiat sebelum Ia meninggal.
Selanjutnya, hari demi hari berlalu, Narator tidak hanya dekat pada Sensei, namun juga istri Sensei. Mereka (narator dan istri sensei) berdiskusi tentang sifat Sensei yang dingin dan mudah berubah moodnya, serta menganalisa penyebab perubahan sifatnya. Hingga akhirnya Narator lulus dari Universitas dan memutuskan untuk pulang kembali ke desa untuk melihat keadaan orang tuanya.
Setelah beberapa minggu di desa, Sensei mengirimkan telegram-dan hal itu sangat mengejutkan karena setelah narator mengirim surat berulang kali-tidak pernah terbalas. Sensei meminta Narator menemuinya sejenak, namun dikarenakan kondisi Ayahnya yang memburuk, ia harus menolaknya. Sampai akhirnya firasat Narator mengatakan bahwa ia harus menemui Sensei-nya, dan ia kembali ke Tokyo untuk menemukan bahwa segalanya terlambat.
Di dalam sebuah surat berlembar-lembar yang Narator baca di dalam kereta perjalanannya ke Tokyo, Narator akhirnya menemukan teka-teki alasan mengapa Sense begitu dingin, atau ketidakpercayaannya kepada umat manusia.
Well, bagi yang hobi membaca buku dari Jepang, tentu tidak asing dengan gaya bercerita atau minimnya plot dari sastra Jepang. Berbeda dengan sastra Inggris atau US yang menekankan plot is matter, Sastra Jepang lebih menekankan pada sisi humanitas dari manusia. Humanitas dalam hal ini bukanlah tidakan heroik menolong sesama, melainkan 'Mundanity'. Bagaimana manusia berfikir, merasakan, dan bertindak saat ini dikarenakan pengalaman dan tindakan ia di masa lalu.
Natsune Soseki sebagai Bapak Sastra Jepang-yang bahkan fotonya pernah tercetak di bank notes Yen, berhasil dengan cantik mengulas tentang hati seorang manusia. Bagaimana luka membentuk trauma dan ternyata karena itu telah membuat luka yang sama kepada orang lain. Bagaimana manusia begitu mudah menghakimi, dan tanpa sadar telah menggali jebakan yang sama untuk dirinya.
Untuk sastra di awal abad 1900, translator dan Natsune telah membuat karya sastra yang abadi, tidak lekang oleh masa. Apa yang ia coba jelaskan tentang hati manusia, jelas masih relevan hingga saat ini. Karena tidak peduli bagaimana manusia telah berevolusi jutaan tahun, manusia masih merasakan luka, dan mencari cara untuk menyembuhkannya.
Hingga di akhir kesimpulan, saya tidak heran kalau Haruki mengidolakannya. Bahkan saya setuju! Karena Natsune jelas menjadi salah satu penulis Jepang favorit saya!
Comments
Post a Comment