Skip to main content

A Lucky Child, sebuah memoar saksi hidup world war II



Cover versi cetakan Indonesia

“A Lucky Child” Memoar Survivor Aushwitz Semasa Bocah (2011)
Writer : Thomas Burgenthal
Penerbit : Elex Media Komputindo

Pertama kali melihat buku ini, di sudut rak buku terbawah di Gramedia, aku langsung tertarik dan mengambil satu-satunya buku yang tersisa itu. Sebuah memoar dari survivor World War II selalu mengundang ketertarikanku.
Buku ini menceritakan tentang kisah Thomas Burgenthal yang merupakan seorang jewish yang lahir di Lubochna, Cekoslovakia. Ia terlahir sekitar tahun 1934, dan masa kecilnya Ia habiskan sebagai pengungsi buron yang lari dari tentara Jerman bersama dengan kedua orang tuanya.
Orang tua Thomas, memiliki dan mengelola sebuah hotel di Lubochna yang merupakan satu-satunya sumber penghasilan mereka. Sampai akhirnya di tahun 1939, mereka dipaksa keluar dari rumah mereka sendiri oleh kelompok fasis Slovakia yang merupakan pendukung Nazi sehingga keluarga kecil itu memulai hidupnya sebagai pengungsi yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menyelamatkan nyawa mereka.
Tujuan pertama pengungsian mereka adalah Zilina,Slovakia. Di sana ayah Thomas bekerja sebagai pedagang keliling produsen alat kesehatan sehingga Thomas dan Ibunya sering di tinggal di rumah sendirian dan harus berjuang mempertahankan nyawa mereka jika tiba-tiba polisi memanggil mereka. Merasa Slovakia tidak lagi aman, keluarga itu berpindah lagi ke Polandia. Selama beberapa hari, mereka terlantar diperbatasan Polandia dan Cekoslovakia karena kedua petugas dari Negara tersebut tidak mengizinkan mereka masuk ke Polandia ataupun kembali ke Ceko sampai akhirnya tentara Jerman datang dan menyuruh petugas di perbatasan Polandia mengizinkan mereka masuk.
Di Polandia, tujuan mereka adalah Katowice, sebuah tempat berkumpul para pengungsi yahudi dari Jerman. Mereka disana menunggu sementara untuk mendapatkan persetujuan visa ke Inggris. Namun, setelah mereka menerima visa, keberangkatan mereka ke Inggris tak pernah terjadi karena di 1 September 1939, Jerman menyerang Polandia.
Pengungsian mereka selanjutnya adalah ke Kielce, kota yang didiami mayoritas besar warga Yahudi. Mereka tinggal disana selama 4 tahun. Di Kielce, pemukiman mereka dibentengi dinding dan pagar, dijaga polisi Yahudi, Polandia dan Jerman. Polisi melakukan patroli setiap saat, dan kadang di malam hari mereka memasuki pemukiman, menyeret orang yahudi dan membunuhnya di tempat. Di tempat inilah, keberanian dan kekuatan seorang anak mulai berkembang. Waktu bermainnya dihabiskan oleh usaha untuk bersembunyi dan menjaga nyawa agar tetap di tubuh.
Keluarga Thomas juga sedikit beruntung karena sang ayah bekerja di sebuah pabrik kecil yang memproduksi pakaian, sepatu , topi dan apapun yang dipesan oleh polisi Jerman dan Gestapo. Ketika pemukiman mereka dimusnahkan, berkat jabatannya sebagai kepala pabrik, sang ayah memiliki koneksi dengan para polisi dan meloloskan mereka dari maut sehingga dikirimkan ke kamp pekerja di Arbeitslager. Namun tidak lama, kamp pekerja tersebut juga dimusnahkan. Anak-anak kecil dan orang tua yang tidak bisa bekerja di bawa ke perkuburan yahudi dan dibunuh. Disitulah nyawa Thomas juga hampir berakhir , namun dengan segala keberanian dia mengatakan kepada komandan operasi, “Herr Hauptman, ich kann arbaiten”_”Kapten, aku sanggup bekerja” sehingga dia diangkut ke kilang gergaji untuk bekerja. Disana dia bekerja sebagai pesuruh, dari membawa surat, sampai memakirkan sepeda tentara. Disinilah Thomas mempertaruhkan nyawanya untuk belajar menggunakan sepeda. Kenyataan yang ironis, bahwa seorang anak harus mempertaruhkan nyawa untuk belajar sepeda.
Tahapan kehidupan lain yang harus dilalui Thomas adalah ketika mereka dibawa oleh kereta menuju ke Auschwitz. Auschwitz merupakan kamp konsentrasi terbesar yang dibangun untuk memusnahkan sebagian besar warga Yahudi oleh Nazi. Mereka dimasukkan ke dalam kamar gas dan dibunuh. Meskipun tidak dimasukkan ke dalam kamar gas, kamp yang dibangun blok per blok itu dipagari oleh kawat listrik bertegangan tinggi, banyak tahanan yang juga meninggal di kawat listrik itu. Selain itu, karena sedikitnya supply makanan, terkadang tahanan mati karena kekurangan gizi, atau terserang penyakit. Di sinilah Thomas berpisah dengan Ibunya dan kemudian ayahnya.
Menurutku, bab yang mengisahkan tentang kehidupan Thomas yang saat itu berusia sepuluh tahun di Auschwitz adalah yang paling terekam di otakku. Disana dia benar-benar sendiri, tanpa kedua orang tua yang selalu melindunginya. Dia juga berusaha keras untuk tetap hidup dengan bersembunyi ketika operasi/razia dilakukan mengingat dia saat itu masih kecil dan merupakan kelompok manusia yang diutamakan untuk dimusnahkan pada saat itu. Di sana juga dia berulang kali lolos dari maut ketika jari kakinya harus diamputasi karena kedinginan, dan kakinya membengkak sehingga dia harus dirawat di klinik.
Di Auschwitz, sakit berarti mati. Selama berkala, petugas di klinik akan memberikan daftar angka manusia yang perlu dimusnahkan kepada tentara nazi . Selama di kamp pekerja, warga yahudi diberikan tanda yaitu berupa tattoo angka untuk mengidentifikasi mereka. Bukan nama, melainkan angka. Bahkan ketika daftar eksekusi itu diserahkan, bukan nama yang diberikan melainkan angka. Pengurangan angka pasien di Klinik (dengan cara dibunuh) dilakukan agar memberikan ruang bagi mereka pasien baru. Selama beberapa saat, Thomas dapat terselamatkan dari daftar maut karena kedekatannya dengan Dokter yang merawatnya.
Perjuangan Thomas setelah lolos dari Auschwitz tidak berhenti sampai di situ. Dia terus dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya sampai dengan kejatuhan Berlin yang menandai jatuhnya Hitler. Dari membaca perjalanan hidupnya, aku sangat mengerti mengapa buku ini diberi judul a Lucky Child. Thomas sangat beruntung memiliki kedua orang tua yang sangat berani dan memiliki integritas. Thomas juga sangat beruntung karena dia memiliki orang-orang di sekitarnya yang baik secara langsung maupun tidak langsung menyelamatkannya dari maut.
Kisah tentang World War Survivor, selalu saja membuat aku ‘charmed’.. Bagaimana proses terjadinya dari sebuah pemikiran seorang anak yang merasa bahwa dia adalah pemimpin, ras terbaik dari ras yang ada di Eropa dan merasa berhak mencabut hak hidup ras lain, terutama Yahudi sehingga dia beraliansi dengan kawan fasisnya untuk menyatakan perang.
Khusus untuk buku ini, aku tidak merasakan kesedihan atau ‘luka’ ketika membacanya. Buku ini seperti diceritakan oleh seorang anak kecil dengan pengetahuannya akan dunia yang masih terbatas. Tidak ada prejudice, negative thinking ataupun dendam dari seorang Jewish terhadap Nazi saat itu. Hanya sebuah penceritaan kembali pengalamannya untuk lolos dari maut dari kepolosan sudut pandang. Pengalaman hidup inilah yang membentuk karakternya, dan bagaimana akhirnya dia sangat menghargai kehidupan.
Buku ini mungkin sangat direkomendasikan bagi mereka para pecinta dan pejuang hak asasi manusia. Dan mungkin, direkomendasikan untuk dibagikan kepada anak-anak, agar mereka bersyukur karena telah hidup di jaman yang lebih baik


Posted using BlogPress from my iPhone

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

The Setting Sun by Osamu Dazai

The Setting Sun  The Setting Sun Author : Osamu Dazai Published in 1947 Original Language : Japanese *** Set in the early postwar years, it probes the destructive effects of war and the transition from a feudal Japan to an industrial society. *** "Such Innocence really charms me, and I wndered if M other might not be one of the last of that kind of lady" Ketika saya secara tidak senga ja membaca No Longer Human   di rak buku Best Seller di sebuah pusat toko buku di Sh ibuya, saya tertar i k dengan judul dan Covernya yang abstra k. Setelah menye lesaikannya, dan mela kukan sedi kit riset, ternyata se tahun sebelum No Longer Human, Osamu Dazai menulis The Setting Sun -yang juga banyak mendapat pujian dan pengakuan secara Internasional. Masih membawa backgroun d sang penulis,Aristocrac y, Osamu Dazai membentuk karakter utama  yang surprisingly wanita berusia 30 tahunan bernama Kazuko. Kazuko tinggal bersama dengan Ibunya setelah mengalam...

Inheritance, Seri Terakhir Tetralogi Inheritance cycles

Judul : Inheritance Penulis : Christopher Paolini Tahun : 2011 (Indonesia,2012) Publisher : Gramedia (Indonesia) Di bulan Juni 2012 ini, akhirnya Gramedia menerbitkan seri terakhir yang telah ditunggu selama lebih dari 3 tahun, Inheritance. Inheritance merupakan buku keempat dari tetralogi Inheritance Cycle yang ditulis oleh anak muda berbakat, Christoper Paolini. Tetralogi ini terdiri dari Eragon (2002), Eldest (2005), Brisingr (2008), dan Inheritance (2011,diterbitkan di Indonesia 2012). Jika kita sedikit lupa dengan cerita terakhir bagaimana ending di buku ketiga,Brisingr, pada bab pengantar akan disajikan ringkasan tiga buku yang dapat merefresh ingatan kita sampai dimana perjuangan Eragon dan Naga birunya, Saphira untun menumbangkan Galbatorix. Secara keseluruhan, Inheritance cycle mengisahkan tentang perjuangan remaja yatim piatu bernama Eragon yang ditakdirkan berperan sebagai penunggang naga betina terakhir, Saphira. Sebelum bertemu Saphira, seumur hidup Eragon h...

Strange Weather in Tokyo by Hiromi Kawakami

Strange Weather in Tokyo Tsukiko, thirty-eight, works in an office and lives alone. One night, she happens to meet one of her former high school teachers, "Sensei," in a local bar. Tsukiko had only ever called him "Sensei" ("Teacher"). He is thirty years her senior, retired, and presumably a widower. Their relationship develops from a perfunctory acknowledgment of each other as they eat and drink alone at the bar, to a hesitant intimacy which tilts awkwardly and poignantly into love. As Tsukiko and Sensei grow to know and love one another, time's passing is marked by Kawakami's gentle hints at the changing seasons: from warm sake to chilled beer, from the buds on the trees to the blooming of the cherry blossoms. Strange Weather in Tokyo is a moving, funny, and immersive tale of modern Japan and old-fashioned romance.  **** Strange Weather in Tokyo Author : Hiromi Kawakami Translator : Allison Markin Powell Published...