Panggil Aku Kartini Saja
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Cetakan I : Juli, 2003
Penerbit : Lentera Dipantara
Saat itu Kartini sadar akan kekurangan bangsanya, yaitu kepemilikannya akan pengetahuan. Alasan mengapa Kartini memilih menjadi penulis, bukan guru ataupun dokter (yang sempat ia pelajari) adalah karena dia ingin mempengaruhi pembacanya lebih luas, mencakup seluruh nusantara,
"Kekuatan suatu negeri sama sekali tidak terletak pada besar kecilnya jumlah penduduk atau luas sempitnya negerinya tetapu pada nilainya dalam menguasai ilmu pengetahuan"- Pramoedya
"KAmi akan goncangkan dia, Bunda, dengan seluruh kekuatan kami, sekalipun hanya sebuah batu saja yang runtuh dan dengan demikian kami tak bakal menganggap hidup kami sia-sia " R.A Kartini.
Di 1/4 bagian akhir bukunya, Pramoedya akhirnya memoderasi polemik yang berkembang mengenai keberadaan Kartini yang disinyalir sebagai produk propaganda Belanda dalam kebijakan politik balas budi (ethical politics) yang ada di jaman itu. Hal itu dikarenakan surat-surat Kartini dipublikasikan secara sepihak oleh seorang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, Mr. Abendanon dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis tersebut.
Saat itu Belanda sedang ditekan oleh dunia tentang eksploitasi-nya terhadap Indonesia sehingga Pemerintah Belanda menyusun politik balas budi sebagai tanda terima kasih pemerintah Belanda atas kemakmuran yang diusahakan oleh Indonesia. Sama seperti di negara-negara lain yang sedang berkembang trend pahlawan wanit, yang kemudian menghasilkan banyak simpati negara-negara lain untuk mengucurkan dana atas nama fondasi pahlawan wanita tersebut, Belanda juga menginginkan hal itu terjadi di Indonesia.
"Betapa inginku waktu itu kau berada di tengah-tengah lingkungan kami, kau akan seperasaan dengan kami, sama-sama menikmati, sama-sama mengimpi. Mengimpi! tapi hidup bukanlah impian, tapi kenyataan-kenyataan yang dingin dan telanjang, tetapi kenyataan itupun tak terlalu buruk kalau orang tidak menghendakinya, dia tidak buruk, dia adalah indah, selalu indah selama ada keindahan dalam batin kita " Salah satu tulisan surat Kartini.
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Cetakan I : Juli, 2003
Penerbit : Lentera Dipantara
"Pada Jamannya Kartini adalah inspirator tapi sekarang, faktanya, Kartini hanyalah puing-puing yang coba hidupkan sekali setahun."-sebuah epilog oleh Indiah Rahayu-
Epilog di penutup buku tersebut atas seperti menjawab ringkasan dari seluruh kisah tentang Kartini di benak rakyat Indonesia. Menggelitik, terkesan insultif, namun kenyataannya demikian.
Rakyat Indonesia yang mana yang tidak mengenal Kartini? Bahkan sejak berada di bangku taman kanak-kanak, anak Indonesia telah dikenalkan oleh sosok samar-samar seorang Kartini, pahlawan wanita yang setiap hari lahirnya dirayakan secara nasional sebagai Hari Kartini. Namun sebatas itu, Kartini adalah pahlawan wanita namun peran apakah yang Ia torehkan dalam sejarah perjuangan Indonesia hingga hari lahirnya dijadikan hari libur nasional? Kenapa bukan Cut Nyak Dien yang jelas-jelas mengangkat senjata melawan penjajah atau Christina Martatiahahu-pahlawan wanita dari Indonesia timur?
Bahkan saat duduk di bangku sekolah, siswa tidak dijelaskan dengan gamblang mengapa Kartini begitu berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Informasi terbatas bahwa karena bukunya "Habis Gelap Terbitlah Terang" Kartini menjadi wanita fenomenal pertama di Indonesia. Tonggak dari emansipasi wanita, wanita pertama yang memperjuangkan kesetaraan wanita di jamannya.
Sampai di situ pembekalan ilmu sejarah berhenti. Selama setiap tanggal 21 April, orang-orang sibuk menggunakan kebaya Jawa untuk merayakan hari lahirnya, maka nama Kartini akan selalu harum di mata rakyat Indonesia.
Ironisnya, saya adalah salah satu orang Indonesia yang mengetahui Kartini sebatas itu.
Panggil Aku Kartini Saja, adalah sebuah biografi atau mungkin lebih tepatnya memoar dari pahlawan pertama wanita yang ditulis dari tangan seorang penulis kritis, Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya mencoba mengisahkan seorang Kartini dari pendekatan yang lain. Dari judulnya, sama dengan salah satu kalimat yang ditulis dalam surat Kartini, Panggil aku Kartini saja mencirikan keinginan dasar Kartini untuk diperlakukan sama dengan rakyatnya.
Terlahir dari keluarga Aristrokrat, Kartini hadir kedunia dengan membawa nama Raden Ajeng Kartini. Dengan menyandang nama tersebut, Kartini diperlakukan berbeda dari gadis-gadis pribumi seusianya.
Dengan nama tersebut pula Kartini bisa mengenyam pendidikan dasar bersama dengan anak-anak pegawai pemerintahan utama lainnya, dan tentunya sebagian besar anak-anak kulit putih. Kartini merupakan segelintir anak pribumi perempuan yang beruntung mengenyam pendidikan di saat anak-anak pribumi lain sudah masuk ke lapangan pekerjaan untuk menjadi pekerja kasar.
Di sekolah tersebut, Kartini belajar bahasa belanda, satu-satunya bahasa pengantar dalam pendidikan. Keahlian bahasa belandanya pun semakin terasah karena dia banyak bersahabat dengan anak-anak Belanda lainnya, bahkan sampai anak-anak tersebut kembali ke negeri kincir angin. Salah satunya adalah sahabat korespondensi-nya Stella.
Perjuangan seorang Kartini dimulai saat ia memasuki fase 'wajib' anak perempuan jawa saat itu yaitu dipingit. Setelah lulus dari sekolah dasar, di usia 11 tahun Kartini harus 'dikurung' di dalam tembok tinggi rumahnya. SAat itu, keinginan belajar Kartini yang kuat membuatnya berontak, dia memohon kepada kakak laki-lakinya dan Ayahnya untuk melanjutkan sekolah. namun tradisi saat itu tidak mengijinkan anak perempuan untuk berkeliaran di luar rumah sampai akhirnya dia dinikahkan dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Bahkan tradisi tersebut juga berlaku untuk anak seorang Bupati Jepara sekalipun.
Pada masa dipingit tersebut, dalam keadaan frustasi dan sedih, Kartini tetap melanjutkan nafsu belajarnya dengan cara mengasah bahasa belanda nya secara otodidak. Dia menyadari bahwa hanya dengan bahasa belanda dia bisa belajar banyak hal. Melihat nafsu baca nya yang tinggi, keluarga Kartini terus menyuplainya dengan buku-buku berbahasa belanda yang didatangkan langsung dari negaranya. Bahkan, Kartini juga belajar bahasa-bahasa lain agar dia dapat membaca buku-buku yang berbahasa asing lainnya seperti Prancis.
Bukti bahwa buku dapat memperkuat karakter seseorang telah terbukti dari sejarah Kartini. Kepribadian Kartini terbentuk berdasarkan kekuatan buku yang di bacanya. Di dalam surat-surat yang Ia tulis ke sahabat korespondennya, Kartini beberapa kali menyebut-nyebut betapa dia sangat menyukai literatur-literatur tertentu.
Dari buku-buku tersebut, Kartini juga akhirnya mengetahui apa saja yang terjadi di dunia luar. Bagaimana karakter dan tradisi suatu negara, serta cara berfikir orang-orangnya. Di saat itulah Kartini menyadari bahwa tradisi feodal yang sedang berlaku di negaranya, sangat tidak baik. Kartini menentang feodalisme. Seorang anak perempuan lulusan sekolah dasar akhirnya mengerti tentang konsep pembagian strata yang berlaku di negerinya, bahkan dia juga mengerti konsep akan rakyat.
Uniknya, sebagai seorang bangsawan Jawa, Kartini merasakan bahwa sesungguhnya dia adalah bagian dari rakyat pribumi. Dia sadar bahwa posisi dia bukan untuk memerintah rakyat, namun dia adalah bagian dari rakyat, dan harus berjuang atas nama rakyat untuk mengubah nasib bangsanya.
Selama 4 tahun dalam masa pingitan, Kartini tidak hanya bersahabat dengan buku-buku asing yang dibacanya, dan rajin mengirim surat kepada teman-temannya. Namun KArtini juga aktif menulis tentang pikirannya terhadap permasalahan bangsa. tulisan-tulisan tersebut tidak hanya ditulis dalam nota-nota yang dengan susah payah diterbitkan oleh surat kabar belanda, namun juga surat-surat kepada temannya terutama Stella.
Saat itu Kartini sadar akan kekurangan bangsanya, yaitu kepemilikannya akan pengetahuan. Alasan mengapa Kartini memilih menjadi penulis, bukan guru ataupun dokter (yang sempat ia pelajari) adalah karena dia ingin mempengaruhi pembacanya lebih luas, mencakup seluruh nusantara,
"Kekuatan suatu negeri sama sekali tidak terletak pada besar kecilnya jumlah penduduk atau luas sempitnya negerinya tetapu pada nilainya dalam menguasai ilmu pengetahuan"- Pramoedya
Namun perjuangan Kartini tidak menemui jalan mudah. Posisi Ayahnya sebagai Bupati, bukanlah yang tertinggi di Jepara, masih ada penjajah kolonial Belanda yang lebih berkuasa. Setiap tulisan Kartini harus melalui sensor yang ketat dari Ayahnya, bahkan sering kali Ayahnya tidak mengijinkannya.
Keadaan itu tentu semakin membuat Kartini frustasi, namun kecintaan luar biasa terhadap Ayahnya yang menahannya untuk memberontak. Rasa frustasinya dilampiaskan dalam surat-suratnya.
Uniknya, Kartini sangat jarang menulis atau membaca dalam bahasa Jawa atau Melayu. Hal itulah yang membuat sebagian orang menganggap bahwa Kartini terlalu mencintai Belanda. Dalam beberapa surat Kartini memang menyampaikan bahwa dia sangat memimpikan berada di Negara Belanda, namun dalam penjelasan Pramoedya dia mencoba memoderasi alasan mengapa KArtini sangat menyukai Belanda.
Sebagai gadis kecil yang membaca buku berbahasa belanda dengan latar belakang belanda, tentu hal itu berhasil membentuk imajinasi gadis itu tentang suatu negeri yang dikisahkan dalam bukunya. Merupakan hal yang wajar bagi seorang pembaca yang terlalu mencintai bukunya, jatuh cinta pada deskripsi tentang setting buku tersebut. Selain itu, Kartini juga menyadari bahwa Negeri Belanda adalah negeri harapan dimana dia bisa menuntut ilmu setinggi-tingginya. Pendidikan di Indonesia saat itu sangatlah menyedihkan dan terbatas, dan sebagian besar pemuda Indonesia dikirim ke Belanda untuk menuntut ilmu.
"KAmi akan goncangkan dia, Bunda, dengan seluruh kekuatan kami, sekalipun hanya sebuah batu saja yang runtuh dan dengan demikian kami tak bakal menganggap hidup kami sia-sia " R.A Kartini.
Pilihan mengapa dia memilih menulis dalam bahasa Belanda juga berdasarkan pertimbangan yang teliti. Meskipun Kartini berjuang untuk rakyat pribumi, namun dia menyadari bahwa dia harus memilih audiensinya. Jika dia menulis dalam bahasa jawa, maka pembacanya adalah rakyat jelata yang tidak mungkin tidak akan mengerti tentang tulisannya, bahkan tidak bisa membacanya. Jika dia menulis dalam bahasa melayu, tidak banyak surat kabar yang terbit dalam bahasa melayu saat itu. Maka ia memilih bahasa belanda, karena dia berharap pembacanya adalah orang Belanda yang peduli pada nasib pribumi, dan terpenting adalah pribumi terpelajar yang peduli pada nasib bangsanya. Pilihan bahasa Kartini bukan karena dia kebarat-baratan, melainkan dia memilih dimana dia ingin berjuang.
Saat itu Belanda sedang ditekan oleh dunia tentang eksploitasi-nya terhadap Indonesia sehingga Pemerintah Belanda menyusun politik balas budi sebagai tanda terima kasih pemerintah Belanda atas kemakmuran yang diusahakan oleh Indonesia. Sama seperti di negara-negara lain yang sedang berkembang trend pahlawan wanit, yang kemudian menghasilkan banyak simpati negara-negara lain untuk mengucurkan dana atas nama fondasi pahlawan wanita tersebut, Belanda juga menginginkan hal itu terjadi di Indonesia.
Dengan mengorbitkan tentang seorang gadis jawa yang berfikiran cerdas tentang bangsanya, kemudian mempublikasikan surat-suratnya secara sepihak, Belanda berharap akan banyak dana yang masuk untuk membiayai gadis jawa tersebut. KArena itulah ke-otentikan surat Kartini, yang diedit sedemikian rupa, mulai dipertanyakan karena hingga sekarang Pemerintah Belanda tidak mampu melacak bukti-bukti surat Kartini yang telah dipegang oleh Abendanon di Belanda.
"Betapa inginku waktu itu kau berada di tengah-tengah lingkungan kami, kau akan seperasaan dengan kami, sama-sama menikmati, sama-sama mengimpi. Mengimpi! tapi hidup bukanlah impian, tapi kenyataan-kenyataan yang dingin dan telanjang, tetapi kenyataan itupun tak terlalu buruk kalau orang tidak menghendakinya, dia tidak buruk, dia adalah indah, selalu indah selama ada keindahan dalam batin kita " Salah satu tulisan surat Kartini.
Well, terlepas dari Kartini adalah hasil orbitan Belanda atau tidak, namun harus diakui bahwa untuk seorang gadis dengan pendidikan sekolah dasar yang terlalu mencintai buku, buah pemikirannya sangat luar biasa. Dia adalah wanita pertama yang (dikenali sejarah) memikirkan tentang keseteraan strata, dia juga yang memikirkan bahwa wanita juga berhak mendapatkan pendidikan, tidak hanya laki-laki. Dia adalah orang yang membenci feodalisme, dan dia adalah orang pertama yang memperjuangkan agar kesenian Jepara dikenal sampai ke mancanegara dan cara perjuangannya itu telah banyak ditiru oleh wanita-wanita Indonesia yang memperjuangkan agar kesenian Indonesia dikenal oleh mancanegara.
Kartini, terlepas dari kontroversinya, adalah wanita yang menentang keras poligami namun karena rasa cintanya yang mendalam kepada Ayahnya, akhirnya ia harus mengalah pada konsep poligami tersebut.
Kartini adalah simbol dari kecerdasan, kemandirian, keuletan dan keberanian seorang wanita Indonesia. Dia adalah contoh pertama bagi rakyat Indonesia tentang potret sikap seorang wanita yang berani mengambil sikap namun tidak mengabaikan norma-norma yang dimilikinya.
Kartini bukanlah potret wanita memakai kebaya seperti yang setiap tahun kita rayakan. Kartini juga bukan wanita jawa yang pintar karena banyak memiliki teman orang Belanda. Kekritisan dia bahkan tumbuh saat dia terpenjara. Dia adalah wanita yang sangat mencintai rakyatnya dan tanpa ragu mempelajari dunia asing tanpa kehilangan identitas bangsanya.
Alangkah baiknya jika setiap tahun bangsa Indonesia mentransfer kembali filosofi mengapa Kartini adalah pahlawan wanita kepada setiap generasi baru yang hadir di Indonesia.
Sedihnya, judul " Habis gelap terbitlah terang" yang diterbitkan oleh Abendonen , yang mengutip dari salah satu surat Kartini, seharusnya tidak bermakna demikian secara harfiah.
Overall, Pramoedya sekali lagi menunjukkan kekritisannya dalam meneksplorasi sejarah bangsa dan berhasil memoderasikannya dalam koridor yang netral.
Well, 4 thumbs up untuk Pramoedya karena dia berhasil membuatku akhirnya mengerti perjuangan Kartini yang sesungguhnya. Meskipun, sedikit banyak aku perlu melakukan pencarian sendiri tentang riwayat hidup Kartini, karena Pramoedya tidak secara detail merunutkan kehidupan Kartini di sini. Dia mengambil pendekatan dengan mencoba menafsirkan pola berfikir Kartini melalui surat-surat dan runutan kejadian saat itu.
"Barang siapa tidak berani, dia tidak bakal menang"-R.A Kartini
Comments
Post a Comment