Author : Malala Yousafzai and Christina Lamb
Year : 2013
Genre : Memoir
Thickness : 298 pages
Language : English
Year : 2013
Genre : Memoir
Thickness : 298 pages
Language : English
***
Blurbs :
"I come from a country that was created at midnight. When I almost died it was just after midday."
When the Taliban took control of the Swat Valley in Pakistan, one girl spoke out. Malala Yousafzai refused to be silenced and fought for her right to an education.
On Tuesday, October 9, 2012, when she was fifteen, she almost paid the ultimate price. She was shot in the head at point-blank range while riding the bus home from school, and few expected her to survive.
Instead, Malala's miraculous recovery has taken her on an extraordinary journey from a remote valley in northern Pakistan to the halls of the United Nations in New York. At sixteen, she became a global symbol of peaceful protest and the youngest nominee ever for the Nobel Peace Prize.
I AM MALALA is the remarkable tale of a family uprooted by global terrorism, of the fight for girls' education, of a father who, himself a school owner, championed and encouraged his daughter to write and attend school, and of brave parents who have a fierce love for their daughter in a society that prizes sons.
I AM MALALA will make you believe in the power of one person's voice to inspire change in the world.
When the Taliban took control of the Swat Valley in Pakistan, one girl spoke out. Malala Yousafzai refused to be silenced and fought for her right to an education.
On Tuesday, October 9, 2012, when she was fifteen, she almost paid the ultimate price. She was shot in the head at point-blank range while riding the bus home from school, and few expected her to survive.
Instead, Malala's miraculous recovery has taken her on an extraordinary journey from a remote valley in northern Pakistan to the halls of the United Nations in New York. At sixteen, she became a global symbol of peaceful protest and the youngest nominee ever for the Nobel Peace Prize.
I AM MALALA is the remarkable tale of a family uprooted by global terrorism, of the fight for girls' education, of a father who, himself a school owner, championed and encouraged his daughter to write and attend school, and of brave parents who have a fierce love for their daughter in a society that prizes sons.
I AM MALALA will make you believe in the power of one person's voice to inspire change in the world.
***
"I'm confused,Aba," I told my father. "What's stopping each and every politician from doing good things? Why would they not want our people to be safe, to have food and electricity?
"How can we do that?" I replied. "You were the one who said if we believe in something greater than our lives, then our voices will only multiply even if we are dead. We can't disown our campaign!"
Dua penggalan paragraf di atas cukup menggambarkan bagaimana seorang Malala Yousafzai, seorang gadis yang ditembak kepalanya oleh Taliban saat berusia 15 tahun karena keberanian dia memperjuangkan hak tiap wanita untuk mendapatkan pendidikan.
Masih ingat tentang Benazir Bhuto? Perdana menteri Wanita Pertama Pakistan yang dibunuh dengan ditembak di lehernya dan kemudian pembunuhnya melakukan bom bunuh diri di tahun 2007? Saat itu Malala baru berusia 5 tahun dan mendengar berita bahwa pahlawan wanitanya dibunuh secara keji saat harapan atas perbaikan negara baru saja tumbuh.
Malala Yousafzai adalah seorang Pashtun, sebuah suku asli yang hidup tersebar di Afghanistan, Pakistan dan sebagian kecil India. Malala tinggal di lembah indah yang bernama Swat- dan merupakan tempat tinggal mayoritas Pashtun di Pakistan selain Karachi, dan Mingora. Sebagai Pashtun, Malala menggambarkan bahwa orang Pashtun adalah orang-orang yang sangat terbuka terhadap tamu, pintu di rumah mereka selalu terbuka kepada siapapun bahkan tidak ada satu haripun dimana rumah tinggal mereka yang sederhana tidak ditinggali bersama dengan tamu atau keluarga yang datang untuk tinggal.
Kebaikan dari Pashtun ini merupakan salah satu faktor yang membuat mereka, penduduk di Swat membuka pintu lebar-lebar terhadap kedatangan Taliban. Sejak merdeka dari kolonialisasi, Pakistan memiliki masalah politik yang bertubi-tubi. Dari tangan 1 diktator ke diktator yang lain sehingga membuat mereka terbiasa dengan kondisi politik yang carut marut. Kedatangan Taliban ke lembah mereka dimulai dari sebuah niatan baik.
Taliban datang dengan membawa misi syiar agama islam. Mengkampanyekan wilayah yang syariat melalui siaran radio setiap hari. Saat bencana gempa bumi besar datang, dan wilayah tetangga mereka menjadi remote area yang tak terjangkau, ekstimis-ekstrimis islam yang datang telebih dahulu menawarkan bantuan ke penduduk, termasuk Taliban. Kedatangan mereka seperti malaikat ditambah dengan antipati terhadap pemerintah yang korup. Mayoritas penduduk menyukai kelompok separatis ini, hingga menyumbangkan emas dan harta untuk membiayai operasional mereka-yang ujungnya untuk dibelikan senjata.
Namun, tidak semua orang terpedaya. Keluarga Malala, mengetahui apa yang dilakukan Taliban di Afghanistan dan di Peshawar-kota perbatasan Pakistan-Afghanistan. Mereka tahu, bahwa sedang terperangkap oleh lubang jurang yang sama dengan pemerintahan mereka.
Sebelum Taliban datang, Ayah Malala adalah seseorang yang sangat miskin dan merupakan orator yang briliant. Untuk mendapatkan pendidikan, ia harus berjuang dengan keras hingga ia lulus dari kuliah. Karena itu, Ayah Malala selalu berfikir untuk menyediakan pendidikan yang layak bagi orang Pakistan yang memiliki angka buta huruf sangat tinggi, tidak peduli laki-laki dan perempuan.
Hal itulah yang diajarkan ayah Malala kepada Malala. Berbeda dengan culture Pashtun, Ayah Malala memperlakukan Malala tidak berdasarkan gender-nya. Ia memberikan dan memperjuangkan pendidikan dan pengetahuan kepada Malala dan membentuk Malala sebagai anak yang berani, pintar, dan pandai menyampaikan pendapat.
Tidak hanya mendirikan banyak sekolah, Ayah Malala juga aktif sebagai orator yang memperjuangkan hak pendidikan, serta menentang kuat kultur Pakistan yang melarang anak perempuan untuk tidak perlu mendapatkan pendidikan. Bahkan, dari awal Ayah Malala mendapatkan surat kecaman dan ancaman untuk menutup sekolah perempuan yang dimilikinya.
Saat Taliban datang, "Islamisasi" yang mereka lakukan semakin memburuk. Anak-anak dan istri-istri direkrut unuk dilatih menjadi suicide bomber, sementara anak laki-laki direkrut untuk menjadi pejuang militan mereka. Mereka mulai mengatur segalanya berdasarkan syariat, wanita dilarang pergi ke pasar, wajib memakai burqa yang menutup wajahnya, melarang hiburan seperti dvd-lagu dan memutus jaringan TV Kabel. Bagi siapapun yang melanggar maka dia akan mendapatkan surat ancaman, dan jika tidak taubat maka jenazahnya akan ditemukan keesokan harinya di parit dekat jalan agar orang-orang bisa melihatnya.
Awalnya Taliban datang sebagai tamu, kemudian menjadi teror. Hingga keadaan terus memburuk, begitu banyak orang mati, serangan terhadap kantor polisi, sekolah dan tiada hari tanpa terdengar suara rentetan tembakan dan bomb. Taliban terus beroperasi dan meluas dengan dana yang berasal entah darimana.
Pemerintah seakan menutup mata, dan tuli terhadap hal itu. Bahkan, dicurigai beberapa petinggi politik ikut mendanai Taliban. Hingga akhirnya Malala dan Ayahnya tidak tinggal diam, mereka mencoba memberitahukan keadaan lembah Swat kepada dunia, melalui interview TV, Radio hingga blog di New York Times. Malala menuliskan bagaimana kehidupannya sejak Taliban datang ke lembah mereka dengan Pen-name Gul Makai.
Hingga beberapa lama, akhirnya pemerintah mulai bertindak, menerapkan darurat militer Swat karena dianggap sebagai basis Taliban dan desakan internasional. Malala dan keluarganya harus menjadi IDP (Internally Displaced Person), terpaksa keluar dari Swat dan berpindah-pindah ke satu kota ke kota yan lain, mengandalkan kebaikan suku Pashto yang lain. Saat itu, diperkirakan ada 1.8 juta IDP yang kehilangan tempat tinggal mereka.
Hingga akhirnya, militer mendeklerasikan Swat telah bebas dari Taliban, Malala kembali ke Swat dan berharap bisa kembali bersekolah. Namun mereka masih ketakutan, karena meskipun bebas dari Taliban, mereka belum berhasil menangkap komandan utama Taliban di Swat. Lagipula, militer juga sama kejinya dengan Taliban. Mereka membunuh orang Taliban dan membiarkan mayatnya terkapar di pinggir jalan.
Saat teman ayah Malala yang juga seorang aktivis akhirnya ditembak di kepala oleh Taliban dalam perjalanan pulang dari Masjid, keluarga Malala mengetahui bahwa ketengangan mereka hanyalah ilusi. Taliban masih ada di sana, mengawasi gerak-gerik masyarakat, dan sedang menarget orang-orang yang aktif menentang Taliban, termasuk Ayah Malala dan Malala.
Polisi menawarkan perlindungan, namun mereka menolak karena tidak ingin ada peristiwa bom bunuh diri yang dapat membunuh orang tidak bersalah lainnya. Hingga akhirnya, suatu siang setelah makan siang, bus yang ditumpangi Malala pulang, dihentikan oleh Taliban dan menembak gadis berusia 15 tahun tepat di kepala.
Apa yang ditulis Malala, menggambarkan bagaimana seorang remaja muda yang luar biasa cerdas mendeskripsikan kehidupannya dalam tekanan budaya, pemerintah dan Taliban. Terinspirasi oleh Anne Frank yang menulis buku hariannya selama ia bersembunyi dari Nazi, Malala menulis bagaimana konflik politik dari pandangan seorang anak yang telah jauh melampaui usianya, tanpa meninggalkan kepolosan dan kenaifan seorang remaja.
Beberapa kali, saya harus menahan air mata karena begitu miris dan sedih bagaimana Taliban yang mengaku islam, dan mengatasnamakan islam dalam segala tindakannnya, telah mempengaruhi hidup tidak hanya Malala, namun jutaan hidup orang-orang yang ada di Pakistan dan Afghanistan. Apa yang telah mereka lakukan dan bagaimana mereka melakukannya, dijelaskan dengan gamblang di dalam tulisan Malala namun hanya berujung pada : Uang dan kekuasaan.
Saya sebagai muslim, dan tinggal jauh dari daerah konflik tersebut merasa masih sangat bersyukur bisa mendapatkan pendidikan, hiburan dan bahkan bisa bekerja meskipun saya perempuan. Namun apa yang terjadi di Pakistan, Afghanistan berakar pada satu hal, pemerintah yang korup. Mengapa dengan mudah penduduk Pakistan atau Afghanistan bergabung dengan Taliban karena mereka telah lelah dengan pemerintah yang korup, selalu hidup di bawah garis kemiskinan dan ingin merasakan bagaimana memiliki kekuasaan.
Buku ini sangat saya rekomendasikan, kepada siapapun.Dari remaja hingga kakek nenek, pelajar hingga presiden, militer hingga politicians untuk dapat melihat bagaimana dampak negara yang korup terhadap kehidupan penduduknya.
Semoga Indonesia tidak pernah jatuh ke dalam kondisi demikian. Amin.
Comments
Post a Comment