The Underground Girls of Kabul |
The Underground Girls of Kabul
Author : Jenny Nordberg
Year : 2015
Language : English
Publisher :Penguin Random House LLC
***
In Afghanistan, a culture ruled almost entirely by men, the birth of a
son is cause for celebration and the arrival of a daughter is often
mourned as misfortune. A bacha posh (literally translated from
Dari as “dressed up like a boy”) is a third kind of child – a girl
temporarily raised as a boy and presented as such to the outside world.
Jenny Nordberg, the reporter who broke the story of this phenomenon for
the New York Times, constructs a powerful and moving account of
those secretly living on the other side of a deeply segregated society
where women have almost no rights and little freedom.
The Underground Girls of Kabul is anchored by vivid characters who bring this remarkable story to life: Azita, a female parliamentarian who sees no other choice but to turn her fourth daughter Mehran into a boy; Zahra, the tomboy teenager who struggles with puberty and refuses her parents’ attempts to turn her back into a girl; Shukria, now a married mother of three after living for twenty years as a man; and Nader, who prays with Shahed, the undercover female police officer, as they both remain in male disguise as adults.
At the heart of this emotional narrative is a new perspective on the extreme sacrifices of Afghan women and girls against the violent backdrop of America’s longest war. Divided into four parts, the book follows those born as the unwanted sex in Afghanistan, but who live as the socially favored gender through childhood and puberty, only to later be forced into marriage and childbirth. The Underground Girls of Kabul charts their dramatic life cycles, while examining our own history and the parallels to subversive actions of people who live under oppression everywhere.
The Underground Girls of Kabul is anchored by vivid characters who bring this remarkable story to life: Azita, a female parliamentarian who sees no other choice but to turn her fourth daughter Mehran into a boy; Zahra, the tomboy teenager who struggles with puberty and refuses her parents’ attempts to turn her back into a girl; Shukria, now a married mother of three after living for twenty years as a man; and Nader, who prays with Shahed, the undercover female police officer, as they both remain in male disguise as adults.
At the heart of this emotional narrative is a new perspective on the extreme sacrifices of Afghan women and girls against the violent backdrop of America’s longest war. Divided into four parts, the book follows those born as the unwanted sex in Afghanistan, but who live as the socially favored gender through childhood and puberty, only to later be forced into marriage and childbirth. The Underground Girls of Kabul charts their dramatic life cycles, while examining our own history and the parallels to subversive actions of people who live under oppression everywhere.
***
Well, my first reaction after closed this book was taking a deep breath, wiping my tears and feeling terribly lucky not being born in a land where women has no legal and social rights in front of the community.Ketertarikan saya membaca tentang Afghanistan dimulai dari buku indah yang ditulis oleh Khaled Khosseini, a Thousand Splendid Suns- yang secara garis besar menceritakan bagaimana hidup sebagai wanita di negara konflik dan saat itu sedang didalam genggaman Taliban. Buku itu adalah buku tersedih yang pernah saya baca, menguras air mata dan menyakiti hati saya sebagai wanita. Bermula dari situ, saya tertarik membaca segala sesuatu yang berbau Afghanistan, Wikipedia, artikel hingga negara tentangganya yang sedikit banyak mirip- Pakistan.
The Underground girls of Kabul adalah buku non- fiksi yang menceritakan tentang kehidupan beberapa gadis dan wanita di Afghanistan sekaligus non fiksi pertama saya yang bisa saya selesaikan dalam waktu singkat. Buku ini disusun berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan oleh Jenny Nordberg selama beberapa tahun di Afghanistan setelah Taliban dilumpuhkan.
Namun, yang ia tuliskan bukan mengenai kehidupan wanita-wanita di balik burka yang misterius, melainkan esensi terlahir sebagai wanita di Afghanistan.
Di awal buku, diceritakan ia sedang mengunjungi keluarga seorang wanita anggota DPR Afghanistan yang memiliki 4 putri, dan putri terakhirnya yang masih berusia di bawah 10 tahun nampak tidak terlihat seperti putri. Gadis itu, diberikan kehormatan untuk menjadi 'bacha posh' atau gadis yang berpenampilan laki-laki.
Mengapa kehormatan? karena bagi orang Afghanistan melahirkan seorang anak laki-laki dalam keluarga adalah suatu keharusan karena dapat mengangkat derajat keluarga tersebut. Anak laki-laki-lah yang akan diberi kebebasan untuk mengenyam pendidikan, bermain keluar rumah dan banyak keistimewaan lain.
Sementara anak perempuan merupakan 'beban' bagi keluarga karena tidak dapat bekerja, tidak diizinkan keluar rumah kecuali bersama muhrim nya dan sebagian besar dibiarkan untuk menjadi buta huruf. Anak perempuan ditakdirkan menjadi makhluk hidup yang bertugas untuk melahirkan anak laki-laki dalam keluarga. Oleh karena itu di usia setelah mereka akhirnya menjadi 'wanita' (mendapatkan menstruasi pertama), keluarganya akan menikahkannya dengan cepat selain untuk menjaga kehormatan dan fitnah namun juga menjadi sumber uang atas mahar yang diberikan keluarga mempelai laki-laki. Oleh karena itu, bukan hal yang aneh jika gadis di bawah umur dinikahkan dengan laki-laki yang usianya 2 kali lipat lebih dan sebagai istri kedua-atau ketiga.
Menjadikan bacha posh-adalah sekaligus doa. Masyarakat Afghan percaya bahwa dengan menunjuk seorang anak menjadi bacha posh, maka akan mendatangkan keberuntungan yaitu anak laki-laki di kelahiran berikutnya.
Namun bagaimana dampak psikologis yang harus ditanggung seorang anak bacha posh? Meskipun praktek ini lazim di Afghanistan, namun pasti ada dampak negatif ketika seorang anak perempuan kecil 'didoktrin' untuk menjadi laki-laki.
Disinilah Jenny Nordberg menceritakan kehidupan beberapa Bacha Posh dari berbagai umur. Dari anak kecil yang percaya bahwa dia adalah laki-laki, remaja putri tanggung yang menolak kembali menjadi wanita hingga seorang wanita separuh baya yang bekerja sebagai perawat-yang dulunya Bacha Posh.
Hingga disinilah Jenny mengungkapkan bahwa manusia bisa dilahirkan sebagai perempuan atau laki-laki, namun menjadi salah satunya adalah pilihan.
Buku ini tidak hanya membahas tentang bagaimana rasanya menjadi wanita di Afghanistan namun juga kajian mendalam secara psikologis dan sejarah tentang wanita, laki-laki, cinta dan hubungan seksual. Mengutip dari salah satu wanita yang menjadi nara sumber tentang hubungan sexual:
"If it were up to me, my husband would never touch me again"
Hubungan sex antara pasangan suami istri adalah suatu kewajiban. Istri melayani suami hanya untuk menghasilkan seorang anak laki-laki. Sex bukanlah hubungan yang indah, intim dan penuh cinta seperti yang dilihat di negara lain.
Menariknya lagi, meskipun Jenny bukanlah seorang muslim, dan dia belum menikah namun dalam tulisannya dia menjaga obyektivitasnya dengan baik tanpa membuat tulisannya menjadi membosankan. Tidak ada drama yang dibumbui, maupun kalimat provokatif rasis yang bisa membuatku (sebagai muslim) untuk menutup buku ini dengan segera. Karena sejujurnya, saat saya memutuskan membaca buku ini, saya skeptis dan sedikit menunggu bahwa orang barat ini akan mengatakan hal buruk tentang islam.
Berikut beberapa 'restrictions' yang nampaknya biasa saja di negara lain, namun sangat penting di Afghanistan
"Azita loves to dance, but she does not do it often. Dancing falls into the same category as poetry for a woman-it equals dreaming which may inspire thoughts about sch banned topics as love and desire. Any woman reading, writing, or citing poetry is a woman who may harbor strange ideas about love and romance in her head, and thus is a potential whore. When Azita once posted a poem on her Facebook page, she immediately received comments suggesting she was inappropriate"
"To actually meet a boy in person is the gutsiest move of all, since it carries the highest risk. Their imagined boyfriends are perfect, bold, heroic, and willing to die for impossible love. But the greatest crime an Afghan girl can commit is actually fall in love and act on it."
Wanita jarang sekali mengunjungi restoran, dan kebanyakan restoran tidak menyediakan ruangan khusus wanita.
Masih banyak lagi hal-hal yang membuat wanita tidak pernah memiliki derajat yang sama di Afghanistan baik secara norma sosial maupun hukum. Seperti wanita boleh saja mengajukan cerai, namun status janda yang melekat padanya akan membuat ia menjadi kelas terendah dalam masyarakat atau sama dengan pelacur, dan lebih-lebih hak asuh anak akan jatuh kepada suaminya.
Kasus lain adalah jika ada wanita yang diperkosa, maka pengadilan ujung-ujungnya akan menetapkan ia bersalah karena bertindak provokatif.
In fact, meskipun buku ini adalah non-fiksi namun berhasil menorehkan emotional scars yang mendalam di dalam benak dan hati saya. Literatur yang sangat saya rekomendasikan!
Comments
Post a Comment