Paperback Edition Orphan Train |
"I learned long ago that loss is not only probable but inevitable."-Christina Baker Kline di Orphan Train
***
Judul : Orphan Train
Penulis : Christina Baker Kline
Hlmn. : 320
Thn.terbit pertama kali : 2013
Genre : Sejarah, Melodrama, fiksi
Sinopsis:
As she helps Vivian sort through her possessions and memories, Molly learns that she and Vivian aren’t as different as they seem to be. A young Irish immigrant orphaned in New York City, Vivian was put on a train to the Midwest with hundreds of other children whose destinies would be determined by luck and chance.
Molly discovers that she has the power to help Vivian find answers to mysteries that have haunted her for her entire life—answers that will ultimately free them both.
Rich in detail and epic in scope, Orphan Train is a powerful novel of upheaval and resilience, of unexpected friendship, and of the secrets we carry that keep us from finding out who we are.
***
Saya selalu mudah jatuh cinta pada cerita fiksi yang didasarkan pada kejadian nyata dimana cerita dijalin dengan rapi berdasarkan sejarah. Sebut saja novel-novel lumayan baru seperti All the Light We Cannot See (Anthony Doerr) atau Nightingale (Kristin Hannah) yang berdasarkan pada perang dunia. Novel-novel seperti mereka-lah yang secara tidak langsung membuat orang yang susah baca non-fiksi seperti saya jadi menyukai (baca: mengetahui sejarah).
The Story
Sedikit diceritakan pada sinopsis di atas, novel ini diceritakan melalui dua sisi point of view yaitu Niamh-dari sudut pandang orang pertama dan Molly dari sudut pandang orang ketiga.
Cerita dibuka oleh Molly, gadis muda berusia 17 tahun yang sudah sangat muak dengan sistem adopsi yang selama ini ia jalani. Berpindah-pindah keluarga hingga berakhir pada pasangan Dina dan Ralph yang saat ini menampungnya. Molly sendiri memilih caranya sendiri untuk 'melindungi' dirinya dengan berdandan gothic dan banyak tindik di tubuhnya.
Molly sangat suka membaca dan kebetulan ia melihat terdapat 3 edisi novel Jane Eyre di perpustakaan umum. Secara sengaja, Ia mengambil satu buku yang paling lusuh dan diselundupkan ke dalam tasnya berharap ia bisa bawa pulang. Namun ternyata alarm perpustakaan berbunyi dan Molly tertangkap basah mencuri.
Molly dihadapkan dua pilihan, masuk ke dalam penjara remaja atau melakukan community service. Jack, kekasih Molly menyarankan agar Molly memilih community service dan atas rekomendasi Ibu Jack-Terry, Molly bisa bekerja pada Vivian, wanita usia lanjut untuk membersihkan loteng rumah Vivian selama 50 jam kerja.
Molly akhirnya bertemu dengan Vivian-yang dia deskripsikan tidak sekedar tua namun ancient. Wanita tersebut tinggal sendirian di mansion besar pinggir laut. Suaminya telah meninggal dan Ia tidak memiliki anak.
Kisah persahabatan keduanya dimulai ketika Molly satu per satu menyortir kotak-kotak yang ada di loteng. Setiap barang kenangan yang ditemukan, Vivian akan mulai menceritakan kisah hidupnya.
Vivian terlahir di Irlandia dengan nama Niamh dan merantau bersama dengan keluarganya ke New York pada usia 7 tahun dengan harapan kehidupan baru yang terbebas dari kemiskinan. Namun di New York, kisah Niamh benar-benar berbalik. Dalam kebakaran hebat suatu malam, Niamh kehilangan seluruh anggota keluarganya, kedua orang tuanya, adik kembarnya dan adik bayi berusia 2 tahun, Massie.
Tidak lama, Niamh harus masuk kedalam sistem anak yatim piatu. Sebuah institusi bernama The Children's Aid Society menampung anak-anak terlantar dan yatim piatu dari kota-kota padat penduduk untuk didistribusikan kepada keluarga-keluarga yang ingin menampung di daerah pedesaan Midwest US.
Menaiki sebuah kereta yang disebut Orphan Train, Niamh bersama ratusan anak lainnya menuju ke pedesaaan untuk dilelang kepada keluarga yang ingin menampung mereka. Di dalma kereta, Niamh bertemu dengan Dutchy, pemuda berambut pirang yang selama ini hidup terlantar di New York. Dalam waktu singkat, keduanya membentuk persahabatan dan berjanji untuk saling menemukan jika saatnya tiba.
Secara perlahan, Niamh menceritakan kehidupannya di awal tahun 1900-an, bagaimana ia berakhir pada keluarga yang menginginkannya sebagai pegawai taat dan dibiarkan tidur di lantai, kemudian berpindah pada keluarga yang hampir memperkosanya hingga ia berakhir pada keluarga yang mau mengadopsinya sebagai anak dan memberinya nama Vivian.
Pada seperempat akhir buku, perlahan Molly-pun mau membuka dirinya terhadap Vivian dan menceritakan bagaimana ia berakhir pada foster system dan keduanya pun menjalin persahabatan yang unik.
What I love
Secara perlahan, penulis menceritakan bagaimana luka, duka dan karakter seorang Niamh-yatim piatu yang ikut merasakan Orphan Train. Bagaimana mereka diperintahkan untuk menjadi anak yang sopan dan penurut agar dapat dipilih keluarga yang menginginkan mereka. Bagi Niamh yang memiliki rambut merah dan berusia 9 tahun- terlalu dewasa untuk menjadi anak, terlalu kecil untuk menjadi orang dewasa- bukan menjadi pilihan utama adalah sebuah konsekuensi.
Bayi-bayi kecil akan dengan cepat dipilih oleh keluarga lain sedangkan anak laki-laki dipilih untuk diperkejakan sebagai petani. Untuk anak perempuan seperti Niamh, ia hanya dianggap sebagai tenaga kerja murah untuk menjahit atau membersihkan rumah.
Beberapa dekade setelahnya, perasaan seorang anak yatim piatu belum berubah.'Dibuang' dan 'tidak diinginkan' telah membuat mereka begitu keras terhadap diri sendiri. Menutup diri dan mencurigai kebaikan orang lain. Bagi mereka, seseorang yang baik hanya menginginkan timbal balik suatu saat.
Molly adalah potret yatim piatu saat ini yang belum bisa menemukan kehangatan dan kasih sayang di dalam rumah yang menaunginya. Orang tua angkatnya, hanya mengejar uang yang disubsidi oleh pemerintah namun tidak ingin memberikan kasih sayang mereka.
Karakter Niamh dan Molly dikembangkan dengan sangat apik oleh penulis, terutama kisah hidup Niamh yang terjalin rapi. Dari karakter seseorang yang polos dan naif menjadi wanita yang luar biasa kuat dan berhasil.
Selain itu, diksi yang digunakan penulis juga bervariasi namun mudah untuk dipahami.
What I Dislike
Tidak seperti novel melodrama yang lain, saya kurang merasakan sisi melankolis dalam Orphan Train. Yes, it is melancholy namun kadarnya masih oke sehingga tidak membuat hati saya patah berkeping-keping.
Jika diceritakan disana Molly dan Vivian akhirnya menjalin persahabatan yang unik, saya tidak merasakan hubungan yang kuat diantara keduanya. Di tengah-tengah, tanpa dijelaskan prosesnya tiba-tiba Molly membuka diri kepada Vivian 'hanya karena' pertengakarannya dengan Dina.
Kesimpulannya, seperempat terakhir buku seolah diringkas agar buku ini cepat tamat sehingga endingnya, to be honest kurang greget.
Plus, untuk pertama kalinya saya membaca buku bersetting awal 1900-an dan terjadi di US melalui sudut pandang 'sejarah' yang berbeda , jadi terima kasih atas tambahan ilmu pengetahuannya kepada sang penulis.
Anyway, buku ini dengan yakin saya rekomendasikan karena jalan ceritanya yang enjoyable untuk sebuah cerita dengan premise melodrama.
Comments
Post a Comment