Skip to main content

Britt Marie was Here oleh Fredrik Backman

Papperback Edition



Britt-Marie can’t stand mess. A disorganized cutlery drawer ranks high on her list of unforgivable sins. She is not one to judge others—no matter how ill-mannered, unkempt, or morally suspect they might be. It’s just that sometimes people interpret her helpful suggestions as criticisms, which is certainly not her intention.
But hidden inside the socially awkward, fussy busybody is a woman who has more imagination, bigger dreams, and a warmer heart that anyone around her realizes.

When Britt-Marie walks out on her cheating husband and has to fend for herself in the miserable backwater town of Borg—of which the kindest thing one can say is that it has a road going through it—she finds work as the caretaker of a soon-to-be demolished recreation center. The fastidious Britt-Marie soon finds herself being drawn into the daily doings of her fellow citizens, an odd assortment of miscreants, drunkards, layabouts. Most alarming of all, she’s given the impossible task of leading the supremely untalented children’s soccer team to victory. In this small town of misfits, can Britt-Marie find a place where she truly belongs?

*** 

Setelah membaca a Man Called Ove (that soon to be the major pictures!), saya tahu harus membaca buku lain yang dihasilkan oleh Fredrik Backman untuk membuktikan bahwa penulis Swedia (yang baru-baru ini menjadi salah satu penulis favorit saya) bukanlah one hits wonder.  Britt Marie was Here merupakan buku ketiga dari Fredrik, setelah a Man Called Ove (2012) dan My Grandmother Asked me to tell you She's Sorry (2013). 

Britt Marie was Here menceritakan seorang wanita berusia 63 tahun yang ingin memulai hidupnya kembali. Britt Marie meninggalkan (atau ditinggalkan) suaminya yang selama ini selalu dengan setia ia rawat namun memilih wanita muda daripada Britt Marie. Diusia 63 tahun, Britt Marie mendatangi tempat pencari kerja, tanpa memiliki pengalaman maupun edukasi yang mencukupi-di tengah financial crissis.

Britt Marie adalah wanita yang unik. Sepanjang hidupnya, ia tidak memiliki teman kecuali seorang suami yang bahkan mengatakan bahwa Britt socially incompetent, ia tidak pernah mencampuri urusan hidup orang lain dan memiliki Obsessive Compulsive Disorder yang akut.

Namun dengan caranya sendiri, keyakinan, keteguhan dan keeksentrikannya, gadis di tempat pencari kerja akhirnya menyerah dan memberikan pekerjaan kepada Britt Marie di sebuah kota entah berantah bernama Borg. 

Borg adalah sebuah kota dimana sebagian besar penduduknya telah menyerah kepada hidup. Dahulunya, kota ini sangat ramai sebagai kota peristirahan para sopir Truk yang lewat. Namun krisis keuangan telah merenggut vitalitas kota ini. Gray dan penuh salju, dimana banyak penduduknya menaruh tanda "FOR SALE" di halaman rumah mereka.

Britt Marie bekerja sebagai penjaga satu-satunya Recretional Centre di Borg yang akan segera tutup karena krisis Keuangan. Pertama kali datang di sana, Britt Marie menemukan bahwa tempat itu sangat tidak layak. Kotor dan tak terawat, Britt Marie akhirnya menemukan kesenangannya kembali, membersihkan tempat itu sampai mengkilap.

Di Borg, Britt Marie mulai mengenal Somebody-seorang wanita di kursi roda yang memiliki Pizzaria-yang menggunakan kata makian sesering kata penghubung, Sven- polisi setengah baya yang selalu gugup dan baik hati, kemudian tentu saja anak-anak yang menjadikan sepak bola sebagai sumber kehidupan mereka.

Perlahan, Britt Marie dengan cara eksentriknya berteman dengan orang-orang selalu menertawakan ia tersebut sampai dengan tahap tertawa bersama mereka. Kebetulan, akan ada Football Cup dan akhirnya Britt Marie bersama dengan Bank-wanita nyaris buta yang menyewakan ruangan di atas rumahnya kepada Britt Marie, menjadi pelatih tim sepakbola Borg yang terdiri dari anak-anak yang mencintai sepakbola karena itu adalah satu-satunya kebahagiaan mereka.

Diantara anak-anak itu ada Vega, gadis kecil dan Omar, adik dari Vega. Vega dan Omar hidup bersama dengan kakak laki-laki mereka Sami, yang menjaga kedua adiknya dan menjadi orang tua bagi kedua adiknya sejak ia remaja. 

Secara perlahan, penulis menceritakan masa lalu dari Britt Marie seperti fragment dimana kejadian kecil di masa kini membawa kenangannya akan masa lalu. Apa yang membentuk kepribadian Britt Marie saat ini adalah kumpulan dari series masa lalunya. Mengapa ia sangat rajin membersihkan seluruh sudut rumah dengan bicarbonate soda, mengapa ia merasa improper bagi orang untuk minum sesuatu tanpa coaster hingga mengapa ia memilih Kent, suami yang ia tinggalkan itu.

Di tengah kenyamanannya tinggal di keterbatasan kota Borg, suatu hari Kent datang mengetuk pintu Britt Marie dan mengatakan betapa ia merindukan Britt Marie. Dari situlah kemudian dilema Britt Marie dimulai. Ia adalah wanita yang tidak terbiasa dengan perubahan, keteraturan dan kebiasaan selama bertahun-tahun dengan Kent tentu adalah sesuatu yang selama ini ia rindukan untuk kembali. 


" What is love worth if you leave someone when you needs the most?"


Tentu saja sebagai pembaca waras saya udah siap-siap banting buku ini jika Britt Marie mau-maunya rujuk dengan Kent. Namun seperti biasa, Fredrik bisa menceritakan bagaimana kompleksitas hubungan antar manusia. Alasan mengapa Britt Marie memilih sesuatu, apa yang ada dalam pikirannya bahkan bisa membuat saya berfikir seperti Britt Marie- no prejudice. 
Di seperempat terakhir buku ini, penulis akan menyuguhkan beberapa pilihan dilematis bagi Britt Marie, bahkan dengan Sven yang semakin pemalu dan menarik diri ketika melihat Kent dengan BMW nya. Hingga kejadian yang membawa Britt Marie semakin dekat dengan Vega dan Omar.

How can I say? Sama seperti a Man Called Ove, bahkan seseorang yang sudah usia lanjut dengan kebijaksanaannya dihadapkan dengan pilihan yang membuat kita terus berfikir bahwa hidup belum benar-benar berakhir sampai dengan kita menutup mata. Dan di tangan Fredrik, dengan kecintaannya pada sisi humanis, pembaca akan disuguhi betapa kompleksnya seorang manusia.

Fredrik adalah Father of Fairy yang selalu mencoba membuat kita mengembalikan kepercayaan terhadap humanity. Kebaikan hati, saling tolong menolong adalah sifat yang selalu ia 'ingatkan kembali' kepada pembacanya untuk membangun fondasi dalam bermasyarakat.Tidak dengan menggurui, namun rasanya membaca karya Fredrik seperti selesai membaca Little Prince, somehow made me felt better as human. There is no darkness in the sorrow, there is always silver lining of everything.

This book is beautiful of course, hampir memiliki tema dan setting yang setipe dengan a man Called Ove namun saya lebih memilih a man called Ove karena introduction phase yang menurut saya pribadi, lebih pendek (I'm not patient reader, excuse me). 

Hal yang keren dari buku ini adalah penulis yang me-relatable-kan pendukung dengan club sepak bola yang didukungnya. Seperti pendukung Liverpool adalah orang-orang yang tidak pernah menyerah (mengingat mereka pernah membalikkan keadaan dari 0-3 menjadi 3-3 di Liga Champions), pendukung Manchester United adalah orang-orang yang selalu menang sehingga merasa mereka selalu berhak untuk menang, pendukung Tottenham Hotspur adalah orang yang memberi lebih banyak dari yang mereka terima, sementara  pendukung Aston Villa adalah karena kostum mereka bagus. Menurut saya, bagian ini sangat lucu karena-ha! admitt it!


Selain itu, entah mengapa dari dua buku yang saya baca dari tangan Fredrik, saya selalu merasa terdapat sentimen dari protagonist terhadap institusi pemerintah di negaranya. Of course it's only my feeling.


Terakhir, setiap saya membayangkan Britt Marie, saya terus membayangkan  sosok Dolores Umbridge. Bukan karena dia annoying, namun dari penjelasan sang penulis-rambut yang tertata rapi, pakaian yang neat dan ke'kaku'annya.

Image result for dolores umbridge
Dolores Umbrigde
" It was an effective system, always having people there to blame for everything without ever having to define who they really were"

Book ID:
Judul : Britt Marie was Here
Author : Fredrik Backman
Original Laguage : Sweden
Translated by : Henning Koch
Year of Published : 2016
Pages : 312




Comments

Popular posts from this blog

Strange Weather in Tokyo by Hiromi Kawakami

Strange Weather in Tokyo Tsukiko, thirty-eight, works in an office and lives alone. One night, she happens to meet one of her former high school teachers, "Sensei," in a local bar. Tsukiko had only ever called him "Sensei" ("Teacher"). He is thirty years her senior, retired, and presumably a widower. Their relationship develops from a perfunctory acknowledgment of each other as they eat and drink alone at the bar, to a hesitant intimacy which tilts awkwardly and poignantly into love. As Tsukiko and Sensei grow to know and love one another, time's passing is marked by Kawakami's gentle hints at the changing seasons: from warm sake to chilled beer, from the buds on the trees to the blooming of the cherry blossoms. Strange Weather in Tokyo is a moving, funny, and immersive tale of modern Japan and old-fashioned romance.  **** Strange Weather in Tokyo Author : Hiromi Kawakami Translator : Allison Markin Powell Published

The Setting Sun by Osamu Dazai

The Setting Sun  The Setting Sun Author : Osamu Dazai Published in 1947 Original Language : Japanese *** Set in the early postwar years, it probes the destructive effects of war and the transition from a feudal Japan to an industrial society. *** "Such Innocence really charms me, and I wndered if M other might not be one of the last of that kind of lady" Ketika saya secara tidak senga ja membaca No Longer Human   di rak buku Best Seller di sebuah pusat toko buku di Sh ibuya, saya tertar i k dengan judul dan Covernya yang abstra k. Setelah menye lesaikannya, dan mela kukan sedi kit riset, ternyata se tahun sebelum No Longer Human, Osamu Dazai menulis The Setting Sun -yang juga banyak mendapat pujian dan pengakuan secara Internasional. Masih membawa backgroun d sang penulis,Aristocrac y, Osamu Dazai membentuk karakter utama  yang surprisingly wanita berusia 30 tahunan bernama Kazuko. Kazuko tinggal bersama dengan Ibunya setelah mengalami pe

Inheritance, Seri Terakhir Tetralogi Inheritance cycles

Judul : Inheritance Penulis : Christopher Paolini Tahun : 2011 (Indonesia,2012) Publisher : Gramedia (Indonesia) Di bulan Juni 2012 ini, akhirnya Gramedia menerbitkan seri terakhir yang telah ditunggu selama lebih dari 3 tahun, Inheritance. Inheritance merupakan buku keempat dari tetralogi Inheritance Cycle yang ditulis oleh anak muda berbakat, Christoper Paolini. Tetralogi ini terdiri dari Eragon (2002), Eldest (2005), Brisingr (2008), dan Inheritance (2011,diterbitkan di Indonesia 2012). Jika kita sedikit lupa dengan cerita terakhir bagaimana ending di buku ketiga,Brisingr, pada bab pengantar akan disajikan ringkasan tiga buku yang dapat merefresh ingatan kita sampai dimana perjuangan Eragon dan Naga birunya, Saphira untun menumbangkan Galbatorix. Secara keseluruhan, Inheritance cycle mengisahkan tentang perjuangan remaja yatim piatu bernama Eragon yang ditakdirkan berperan sebagai penunggang naga betina terakhir, Saphira. Sebelum bertemu Saphira, seumur hidup Eragon h