All the Bright Places paperback |
Theodore Finch is fascinated by death. Every day he thinks of ways he might kill himself, but every day he also searches for—and manages to find—something to keep him here, and alive, and awake.
Violet Markey lives for the future, counting the days until graduation, when she can escape her small Indiana town and her aching grief in the wake of her sister’s recent death.
When Finch and Violet meet on the ledge of the bell tower at school—six stories above the ground— it’s unclear who saves whom. Soon it’s only with Violet that Finch can be himself. And it’s only with Finch that Violet can forget to count away the days and start living them. But as Violet’s world grows, Finch’s begins to shrink. . . .
****
All the Bright Places
Author : Jennifer Niven
Publisher : knopf
Pages : 378
Genre : Young Adult
Well, terdapat dua pandangan yang sangat bertentangan saat saya mencoba membaca laman comment tentang buku ini di Goodreads. Pertama, tentu sangat menyukainya. Kedua, sangat tidak menyukainya.
Sebelum memasuki bagian pendapat orang lain, saya akan menceritakan ringkasan dari buku yang pernah memenangkan Goodreads Choice Awards tahun 2015 ini.
Dimulai dari pertemuan antara Finch dan Violet di atas tower dimana keduanya sedang mencoba untuk mengakhiri hidupnya, dengan niat dan latar belakang yang berbeda.
Finch selalu tertarik pada kematian. Ia hidup hari demi hari dan selalu mencari alasan untuk hidup hari ini. Ia selalu mengungkapan fakta tentang cara orang-orang di dunia ini mengakhiri hidupnya.
Sementara Violet, baru sekali ini ia mencoba untuk membunuh dirinya dengan cara melonjat dari menara. Kesedihan yang ia tanggung membuatnya ingin mengakhiri hidupnya, namun Finch menghentikannya tepat pada waktunya.
Sayangnya, teman-teman sekolahnya yang sedang panik di bawah menara itu melihat hal yang berbeda. Atas penilaian masing-masing, mereka percaya bahwa Violet sedang menyelamatkan Finch. Finch memang tukang pembuat onar sementara Violet adalah 'mantan' It girl yang sedang berduka.
Namun Finch tidak keberatan dengan cerita yang beredar di sekolah. Finch tidak pernah peduli pada citra dirinya. Ia adalah remaja eksentrik namun tidak satu pun teman sesusianya yang mengerti ia. Bahkan, juga kedua orang tuanya.
Merasa Violet berhutang 'nama baik' padanya, Finch mendekati Violet untuk mengetahui alasan Ia ingin mengakhiri hidupnya. Finch sebelumnya hanya sekilas mengetahui Violet dan kecelakaan yang menimpanya bersama kakaknya tahun lalu.
Perlahan, keduanya sering mengobrol di Facebook messenger dan menjadi dekat. Hanya di hadapan Finch, Violet merasa tidak perlu menutupi ketidaksempurnaan, ketakutan dan kesedihannya.
Namun dunia SMA memiliki aturan yang tidak tertulis tentang gengsi. Kedekatan Finch dan Violet adalah sesuatu yang tidak lazim sehingga mereka harus menempuh jalan panjang untuk bisa berduaan tanpa diganggu.
But relax, ini bukan cerita tentang perjuangan Violet dan Finch untuk bersama melawan arus pertemanan (part of), namun tentang bagaimana Finch menyembuhkan luka di hati Violet, namun Ia masih tidak bisa menolong dirinya sendiri.
Karakter Finch di buku ini sangat real, keeksentrikannya dan cara ia melihat kematian membuat karakter Finch sangat hidup. Saya sempat berdecak kagum membaca bagaimana penulis bisa menyelami lembah kerumitan cara berfikir seseorang seperti Finch, yang merasa he's not belong to the world. Just not belong to. Ternyata, di bagian akhir buku, saya notice bahwa penulis pernah memiliki teman yang selalu mempunyai suicidal thoughts seperti Finch dan merasa perlunya untuk menyampaikan ini pada dunia sebagai awareness. No wonder, right?
Lalu, bagaimana secara keseluruhan buku ini? Mengapa orang sangat menyukainya? Mungkin seperti saya, mereka akhirnya mendapat 'pencerahan' rumitnya jalan pikiran seseorang dengan suicidal thoughts. There is no right or wrong, sometimes they just can't fight it. Atau dengan kata lain, Related.
Sementara mereka yang membencinya? Mungkin karena karakter lain except for Finch is underdeveloped. Violet masih remaja yang sama meskipun telah bertemu Finch, dia tidak bisa bertindak heroik sama seperti di film-film atau buku lain untuk menyelamatkan kekasihnya. Dan yang paling menyebalkan tentu karakter dari keluarga Finch. Not even single person give a ****.
Namun saya masih berfikir, kalau ini seperti diambil dari real story dimana kenyataannya, hal tersebut sangat mungkin terjadi.
Menurut saya, the biggest missing adalah emosi. Buku ini supposed to be a roller coaster read. Dari kisah cinta mereka yang super unik sampai dengan perjuangan seorang Finch. Namun saya tidak merasa diaduk-aduk. Saya lebih sedih membaca beberapa artikel koran yang heartbreaking.
Mungkin, fokus utama penulis adalah awaraness bagi pembaca awam tentang suicidal thoughts, bukan drama korea yang menguras air mata.
To wrap up, I give out 3.5 out of 5 stars for this book. It's really recommended untuk psikolog atau psikiater baru :).
No, this book not too sob-by, don't worry!
Comments
Post a Comment