Killing Commendatore |
The epic new novel from the internationally acclaimed and best-selling author of 1Q84
In Killing Commendatore, a thirty-something portrait painter in Tokyo is abandoned by his wife and finds himself holed up in the mountain home of a famous artist, Tomohiko Amada. When he discovers a previously unseen painting in the attic, he unintentionally opens a circle of mysterious circumstances. To close it, he must complete a journey that involves a mysterious ringing bell, a two-foot-high physical manifestation of an Idea, a dapper businessman who lives across the valley, a precocious thirteen-year-old girl, a Nazi assassination attempt during World War II in Vienna, a pit in the woods behind the artist’s home, and an underworld haunted by Double Metaphors. A tour de force of love and loneliness, war and art—as well as a loving homage to The Great Gatsby—Killing Commendatore is a stunning work of imagination from one of our greatest writers.
***
Killing Commendatore
Author : Haruki Murakami
Published on 2018
Genre : Surreal, Suspense, Humaniora
Ok, ini pertanyaan penasaran saya, bagaimana seseoran yang telah menulis begitu lama, begitu banyak buku, dan tidak satupun bukunya yang below his standard quality?
Killing Commendatore adalah salah satu buku terbaik yang pernah saya baca dari Haruki Murakami saat ini (mungkin akan segera ter-override ketika Haruki menulis buku baru lagi).
Seperti ditulis di blurbs di atas, Killing Commendatore bercerita tentang seorang pelukis berusia tiga puluh sekian yang baru saja diceraikan oleh istrinya. Terkejut dan masih belum menerima kenyataan, protagonis yang tidak disebutkan namanya tersebut melakukan perjalanan sendiri mengelilingi Jepang selama berbulan-bulan bersama dengan mobil tua Peogeot.
Sampai ia mulai lelah hidup di jalan dan mulai kehabisan uang, ia bertemu dengan salah satu teman kuliahnya yang merupakan anak dari pelukis ternama Tomohika Amada. Kebetulan, rumah tinggal Tomohiko saat ini kosong dan ia memerlukan seseorang untuk menjaganya. Alhasil, protagonis tinggal di rumah tempat Tomohiko Amada menelurkan karya-karya besar.
Dalam bayangan saya, rumah itu sangat menarik, rumah kayu di kaki gunung, tanpa tetangga, hanya ada hutan di halaman belakang, dan bekas shrine yang tidak terawat lagi.
Petualangan dimulai ketika protagonis tinggal di rumah sang pelukis, diawali dengan tidak sengaja menemukan lukisan Killing Commendatore karya Tomohiko yang dibungkus rapat seolah tidak mengizinkan dunia mengetahui lukisan itu. Lukisan itu sangat sempurna dan 'hidup', namun mengapa Tomohiko menyembunyikannya, membuat protagonis penasaran dengan sosok Tomohiko sendiri.
Penelusuran tentang Tomohiko sendiri membuat banyak hal-hal tak terduga dan magis terjadi pada protagonis. Ditambahkan dengan kehadiran 'tetangga' dandy ala Great Gatsby yang 'memaksa' protagonis untuk melukis potret wajahnya.
Dari sosok burung hantu, suara lonceng misterius, lubang dalam di belakang rumah, saya sempet pengen berhenti karena ketakutan..sambil berfikir kenapa berasa baca Stephen King? kemudian, bagi pembaca lama Murakami, bagian surreal pun dimulai sejak lonceng itu ditemukan.
Protagonis juga menceritakan flashback perjalanannya setelah istrinya meminta bercerai, bagaimana mereka bertemu hingga menikah. Kejadian di masa lalu dijahit sangat rapi dengan kejadian sekarang yang khas dari J-writing ; seperti memasak pasta, meminum gin, atau sekadar memandangi langit cerah di musim autumn.
Mengapa buku ini sangat spesial dan bagus, karena sejauh manapun Haruki mencoba menyeret kita ke dunia sureal tentang WWII, atau biksu berabad-abad lalu, pendekar di jaman Edo (saya lupa tepatnya jaman apa), namun semuanya menggambarkan duka hati dari sang protagonis. Kesepian, perasaan terluka dan patah hati yang tak pernah terucap atau dibagikan namun tercermin dari mimpinya, kemurungannya dan bagaimana ia menemukan kembali 'dirinya sendiri'
Buku ini sangat emosional dan sempat membuat saya menahan nafas. Sesuatu yang tidak saya temukan di buku-buku Murakami sebelumnya (atau saya gagal menemukannya karena keterbatasan 'rasa').
Alur cerita yang lambat, poignant namun tidak desperate ataupun dark.
Bahkan, 3 minggu setelah selesai membacanya, saya masih ingat jalan ceritanya dan luka yang masih membekas setelah menutup halaman terakhir dari buku itu.
Sebuah karya yang emosional dan luar biasa.
Comments
Post a Comment