Human Acts |
In the midst of a violent student uprising in South Korea, a young boy named Dong-ho is shockingly killed.
The story of this tragic episode unfolds in a sequence of interconnected chapters as the victims and the bereaved encounter suppression, denial, and the echoing agony of the massacre. From Dong-ho’s best friend who meets his own fateful end; to an editor struggling against censorship; to a prisoner and a factory worker, each suffering from traumatic memories; and to Dong-ho's own grief-stricken mother; and through their collective heartbreak and acts of hope is the tale of a brutalized people in search of a voice.
The story of this tragic episode unfolds in a sequence of interconnected chapters as the victims and the bereaved encounter suppression, denial, and the echoing agony of the massacre. From Dong-ho’s best friend who meets his own fateful end; to an editor struggling against censorship; to a prisoner and a factory worker, each suffering from traumatic memories; and to Dong-ho's own grief-stricken mother; and through their collective heartbreak and acts of hope is the tale of a brutalized people in search of a voice.
***
Human Acts
Author : Han Kang
First Published : 19 May 2014
Edition :2016
Translator : Deborah Smith
Genre : Historical Fiction
After you died, I couldn't hold a funeral, so my life become a funeral
So these eyes that once beheld you became a shrine
These ears that once heard your voice become a shrine
These lungs that once inhaled your breath become a shrine
So these eyes that once beheld you became a shrine
These ears that once heard your voice become a shrine
These lungs that once inhaled your breath become a shrine
Tinggal di Korea Selatan, setidaknya beberapa kali saya mendengar tentang pandangan politik dari orang lokal. Hampir di setiap weekend, saya juga melihat ada demo damai di depan istana, city hall atau Seoul Station. Sebagian besar demo adalah mengenai dukungan terhadap presiden sebelumnya, Mrs. Park yang saat ini dipenjara karena kasus korupsi. Mrs. Park sendiri adalah putri dari diktator militer Park Chung Hee, mantan presiden Korea Selatan yang dibunuh pada akhir tahun 70'an.
Mendiang presiden Park sendiri adalah sebuah dilema bagi kebanyakan masyarakat Korea Selatan. Ia dianggap berjasa sangat besar pada majunya perekonomian Korea, dari negara miskin menjadi salah satu perekonomian terkuat di Asia. Namun, tak dapat dipungkiri, Ia adalah pemimpin berdarah dingin.
Setelah Presiden Park terbunuh, saat itu adalah masa krisis di Korea Selatan. Martial Law diterapkan, dimana kekuasaan negara untuk sementara dipegang oleh militer. Penduduk resah, melakukan protes, terutama para pelajar, mahasiswa dan pekerja.
Militer dengan cepat mengambil alih, dalam kekuasaan Chun-do Wan, militer mengambil langkah tegas untuk mendamaikan negara. Pelajar ditembak mati, dipenjara, disiksa dan mayatnya dibakar untuk menghilangkan jejak.
Human Acts mengambil setting pada tahun 1980, dimana Martial Law diterapkan, dan protes besar-besaran dilakukan di salah satu universitas di sebuah kota, Gwangju.
Cerita dibuka tentang seorang pemuda bernama Dong Ho. Dengan gaya bercerita orang kedua- Dong Ho berusaha mencari mayat temannya yang meninggal tertembak sebelumnya. Dong Ho tinggal di rumah sakit sampai ke universitas dan secara suka rela bertindak sebagai pembersih mayat untuk menemukan mayat You. Selama berhari-hari, dalam pencariannya, dengan gaya bercerita meloncat antara masa lalu dan masa kini, Dong Ho sedang bertempur dengan dirinya sendiri. Rasa bersalah yang sangat dalam membuatnya mengabaikan bahaya yang sedang mengintainya.
Di babak kedua, diceritakan tentang You. Mayat yang baru saja meninggal dan melihat bagaimana jiwanya terpisah dari tubuhnya yang mulai membusuk. You mencoba mengingat masa lalunya, tentang kakak perempuannya dan pertemanannya dengan Dong Ho, kemudian ia memutuskan untuk mencari Dong Ho.
Di babak ketiga, setting adalah di tahun 1985, tentang seorang editor yang sedang berjuang untuk melawan sensor yang sangat ketat di Korea saat itu. Editor perempuan itu juga pernah berada di ruangan yang sama dengan Dong Ho dan menyimpan trauma yang dalam pada kejadian tahun 1980 tersebut.
Di babak keempat, bergeser ke tahun 1990, bercerita tentang seorang mantan tahanan yang diminta untuk bercerita tentang kejadian traumatis demi sebuah tesis. Kemudian, terdapat bagian cerita tentang ibu Dong Ho, yang menurut saya, really heartbreaking!
Di babak terakhir adalah tentang koneksi penulis dengan kejadian Gwangju atau yang biasa disebut Gwangju Uprising. Han Kang pernah tinggal di Gwangju, dan meskipun tidak secara langsung terlibat dalam Gwangju Uprising, Han Kang mengenal Dong Ho, dan masih tersimpan dalam ingatannya bagaimana kedua orang tuanya berbicara tentang korban dari Gwangju Uprising ini.
Meskipun diceritakan dari protagonis yang berbeda-beda, keenam cerita di dalam buku ini memiliki keterkaitan. Mungkin kalau boleh jujur, saya lebih memilih membaca keterkaitan tersebut dalam jalinan cerita yang utuh, namun penulis disini memilih pendekatan yang berbeda yang membuat keterkaitan tersebut terasa agak tipis sehingga terasa seperti berdiri sendiri-sendiri.
Namun, sama dengan buku White Book, Han Kang mengubah 'pengalaman' dalam hidupnya menjadi sebuah karya yang indah. Trauma dan luka yang ia rasakan dituangkan ke dalam tulisan yang menggelitik rasa kemanusiaan pembacanya. Buku ini, meskipun mengambil tema tragedi yang sedih, namun tidak terasa melankolis, disini kita akan mengerti bahwa jiwa manusia sangat fragile, mudah hancur atau bahkan hilang sama sekali.
Kenyataan bahwa tentara yang seharusnya melindungi rakyat, namun memilih untuk membunuh rakyat dengan tangan dingin karena mereka melihat apa yang dilakukan di Kamboja adalah wajar. Pembunuhan 200 atau 2000 penduduk, hanya untuk sebuah kekuasaan.Disana kita akan bertanya-tanya, kemana jiwa manusia itu pergi? Apakah ia manusia?
Well, it was good read. Jika saya tidak dibuat bingung karena kata "You" merefer ke siapa lagi, mungkin saya akan lebih menikmati buku ini.
Sangat direkomendasikan bagi mereka yang ingin lebih tahu tentang sejarah Korea Selatan!
Mendiang presiden Park sendiri adalah sebuah dilema bagi kebanyakan masyarakat Korea Selatan. Ia dianggap berjasa sangat besar pada majunya perekonomian Korea, dari negara miskin menjadi salah satu perekonomian terkuat di Asia. Namun, tak dapat dipungkiri, Ia adalah pemimpin berdarah dingin.
Setelah Presiden Park terbunuh, saat itu adalah masa krisis di Korea Selatan. Martial Law diterapkan, dimana kekuasaan negara untuk sementara dipegang oleh militer. Penduduk resah, melakukan protes, terutama para pelajar, mahasiswa dan pekerja.
Militer dengan cepat mengambil alih, dalam kekuasaan Chun-do Wan, militer mengambil langkah tegas untuk mendamaikan negara. Pelajar ditembak mati, dipenjara, disiksa dan mayatnya dibakar untuk menghilangkan jejak.
Human Acts mengambil setting pada tahun 1980, dimana Martial Law diterapkan, dan protes besar-besaran dilakukan di salah satu universitas di sebuah kota, Gwangju.
Cerita dibuka tentang seorang pemuda bernama Dong Ho. Dengan gaya bercerita orang kedua- Dong Ho berusaha mencari mayat temannya yang meninggal tertembak sebelumnya. Dong Ho tinggal di rumah sakit sampai ke universitas dan secara suka rela bertindak sebagai pembersih mayat untuk menemukan mayat You. Selama berhari-hari, dalam pencariannya, dengan gaya bercerita meloncat antara masa lalu dan masa kini, Dong Ho sedang bertempur dengan dirinya sendiri. Rasa bersalah yang sangat dalam membuatnya mengabaikan bahaya yang sedang mengintainya.
Di babak kedua, diceritakan tentang You. Mayat yang baru saja meninggal dan melihat bagaimana jiwanya terpisah dari tubuhnya yang mulai membusuk. You mencoba mengingat masa lalunya, tentang kakak perempuannya dan pertemanannya dengan Dong Ho, kemudian ia memutuskan untuk mencari Dong Ho.
Di babak ketiga, setting adalah di tahun 1985, tentang seorang editor yang sedang berjuang untuk melawan sensor yang sangat ketat di Korea saat itu. Editor perempuan itu juga pernah berada di ruangan yang sama dengan Dong Ho dan menyimpan trauma yang dalam pada kejadian tahun 1980 tersebut.
Di babak keempat, bergeser ke tahun 1990, bercerita tentang seorang mantan tahanan yang diminta untuk bercerita tentang kejadian traumatis demi sebuah tesis. Kemudian, terdapat bagian cerita tentang ibu Dong Ho, yang menurut saya, really heartbreaking!
Di babak terakhir adalah tentang koneksi penulis dengan kejadian Gwangju atau yang biasa disebut Gwangju Uprising. Han Kang pernah tinggal di Gwangju, dan meskipun tidak secara langsung terlibat dalam Gwangju Uprising, Han Kang mengenal Dong Ho, dan masih tersimpan dalam ingatannya bagaimana kedua orang tuanya berbicara tentang korban dari Gwangju Uprising ini.
Meskipun diceritakan dari protagonis yang berbeda-beda, keenam cerita di dalam buku ini memiliki keterkaitan. Mungkin kalau boleh jujur, saya lebih memilih membaca keterkaitan tersebut dalam jalinan cerita yang utuh, namun penulis disini memilih pendekatan yang berbeda yang membuat keterkaitan tersebut terasa agak tipis sehingga terasa seperti berdiri sendiri-sendiri.
Namun, sama dengan buku White Book, Han Kang mengubah 'pengalaman' dalam hidupnya menjadi sebuah karya yang indah. Trauma dan luka yang ia rasakan dituangkan ke dalam tulisan yang menggelitik rasa kemanusiaan pembacanya. Buku ini, meskipun mengambil tema tragedi yang sedih, namun tidak terasa melankolis, disini kita akan mengerti bahwa jiwa manusia sangat fragile, mudah hancur atau bahkan hilang sama sekali.
Kenyataan bahwa tentara yang seharusnya melindungi rakyat, namun memilih untuk membunuh rakyat dengan tangan dingin karena mereka melihat apa yang dilakukan di Kamboja adalah wajar. Pembunuhan 200 atau 2000 penduduk, hanya untuk sebuah kekuasaan.Disana kita akan bertanya-tanya, kemana jiwa manusia itu pergi? Apakah ia manusia?
Well, it was good read. Jika saya tidak dibuat bingung karena kata "You" merefer ke siapa lagi, mungkin saya akan lebih menikmati buku ini.
Sangat direkomendasikan bagi mereka yang ingin lebih tahu tentang sejarah Korea Selatan!
Comments
Post a Comment