Cover Edition 2015 |
Di puncak rezim yang penuh kekerasan, kisah ini bermula dari satu peristiwa, dua orang polisi memerkosa seorang perempuan gila, dan dua bocah melihatnya melalui lubang di jendela. Dan seekor burung memutuskan untuk tidur panjang. Di tengah kehidupan yang keras dan brutal, si burung tidur merupakan alegori tentang kehidupan yang tenang dan damai, meskipun semua orang berusaha membangunkannnya.
***
Author : Eka Kurniawan
Tahun terbit : 2014
Genre : Sastra, Humaniora
Tebal : 243
HA!
Terakhir kali saya membaca novel berbahasa Indonesia adalah tahun lalu, Tango & Sadimin karya Ramayda Akmal. Setahun lebih saya tidak bisa pulang ke Indonesia, dan ketika suami pulang awal bulan lalu saya minta dibawakan buku ini.
Yup, saya sudah memiliki buku ini sejak 2016-an namun baru sekarang sempat membacanya karena kerinduan pada sastra Indonesia.
Ini adalah buku pertama karya Eka Kurniawan yang saya baca dan saya tidak bisa menjelaskan perasaan setelah menyelesaikannya.
Ok, kita awali dengan alur cerita. Alkisah terdapat dua bocah, Ajo Kawir sang protagonist dan sahabat baiknya, si Tokek. Kedua bocah itu sedang menikmati kehidupannya sebagai remaja tanggung, menjelajahi desa tanpa takut, mengintip kelakuan para orang dewasa dan sampai suatu saat, Tokek menemukan salah satu pemandangan menarik, melebihi aktivitas malam Pak Kepala desa dan istri barunya.
SI Tokek melihat wanita gila, Rona Merah di pinggiran desa sedang disetubuhi oleh dua orang polisi. Berpikir Ajo Kawir akan menyukai pemandangan ini, Tokek mengajak Ajo Kawir untuk mengintip. Namun sial, kejadian malam itu membuat burung Ajo Kawir tertidur pulas.
Sejak saat itu, burung itu memilih jalan hidup kesunyian. Ajo Kawir mencoba segala macam cara untuk membangunkannya, dari yang berbahaya hingga memalukan, namun burung itu terus terlelap.
Hampir memotong burungnya sendiri, akhirnya Ajo Kawir mendengar kata-kata Tokek, toh mereka tidak membutuhkannya segera, siapa tau ia akan bangun sendiri.
Hidup Ajo Kawir dan Tokek terus berlanjut,mereka tumbuh sebagai pemuda yang suka berkelahi dan berkali-kali dikeluarkan dari sekolah. Sampai suatu saat, Ajo Kawir bertemu dengan gadis jagoan, Iteung, Ia jatuh cinta.
Kekhawatiran akan tidurnya sang burung kembali membuat dilema bagi Ajo Kawir. Tidak ada gunanya bersama wanita jika ia tidak bisa memuaskannya. Namun Iteung mencintai Ajo Kawir dengan sangat, akhirnya mereka mengabaikan tidurnya sang burung dan menikah.
Namun hidup baru saja dimulai. Tidurnya burung tidak hanya mengubah cara Ajo Kawir menjalani hidup (tidak tahu takut), namun tentu saja kepuasan batin Iteung. Iteung hamil, dan yang pasti bukan anak dari Ajo Kawir.
Sesudah kejadian itu, cerita fast-forward dan beralur bolak-bolik tentang kehidupan Ajo Kawir dan Iteung setelah tragedi itu.
Ya, novel ini vulgar, deskripsi aktivitas seksual dan penggunaan kata juga memang ditujukan untuk pembaca diatas usia 21+. Awalnya, saya agak kurang bersemangat membaca tema yang diusung karena tema ini juga diusung oleh beberapa penulis indonesia lainnya, tentang kemiskinan, kekerasan terutama pada perempuan yang memang potret dari masyarakat indonesia terutama beberapa dekade lalu.
Namun setelah cerita masuk pada Ajo Kawir yang bekerja sebagai sopir truk dan mengambil jalan hidup sunyi seperti burungnya, semuanya menjadi menarik. Ajo Kawir berhenti berkelahi, bahkan Ia menjadi bijaksana. Banyak plot twist yang tidak tertebak tentunya, dan humor yang diselipkan di sana-sini, terutama kepolosan Ajo Kawir.
Eka kurniawan menulis fragmen-fragmen terpotong dan bergantian antara sudut Ajo Kawir masa kini, masa lalu, Iteung masa kini dan masa lalu. Paragraf-paragraf pendek yang memang kadang mengesalkan karena tiba-tiba dipotong oleh sudut pandang lain, namun nicely executed.
Karakter Ajo Kawir juga sangat menarik. Suka memancing keributan, namun jauh di lubuk hatinya Ia adalah lelaki loyal yang berlutut demi cinta. Ia menyukai berbuat dosa, namun masih terpikir tentang siksa neraka. Dan persahabatannya dengan si Tokek, tentu didambakan oleh manusia manapun.
Penulis adalah generasi penulis hebat Indonesia yang mampu menulis dengan jujur, tanpa sensor dan apa adanya, dan mungkin vulgar namun tidak stensilan, sama seperti Ayu Utami, Djenar dan beberapa nama lainnya.
Walaupun tema yang disorot adalah tentang kekerasan terhadap perempuan, terutama pada perempuan yang tidak berdaya, namun Eka Kurniawan mengkompensasinya dengan menghadirkan sosok Iteung, wanita jagoan yang terkadang dikendalikan oleh birahinya, namun di akhir hari, Ia yang membayar lunas untuk laki-laki yang dicintainya.
Well, ya memang novel ini akan memancingmu keluar dari kenyamanan, sama seperti burung Ajo Kawir yang dipaksa bangun dari tidurnya yang panjang.
What a ride!!
Comments
Post a Comment